Senin, Mei 18, 2015

Membaca dan Memahami Komunis

Apakah paham komunis itu bisa mengancam pergaulan dan cara berkebangsaan kita. 

Suatu kali saya menempuh perjalanan 12 jam, dari Sorowako menuju Makassar. Saya menumpangi sebuah bus sewaan, duduk diantara orang-orang dengan beragam ekspresi. Bus itu tak memiliki lampu baca, akhirnya, saya mengaktifkan list lagu di hape. Selama perjalanan, dendang dan irama dari Iwan Fals, Cake, dan Nirvana memanjakan telinga. Benar-benar menyenangkan. Jika sudah demikian, maka khayalan saya akan berlari dan berlompat, liar dan tak terkendali.

Tapi khayalan saya tiba-tiba berhenti pada sebuah peristiwa. Saman pasca peristiwa Gerakan 30 September. Orang-orang menjadi ketakutan dengan ideologi komunis, saman dimana orang-orang PKI dianggap sebagai malapetaka. Bagi saya inilah salah satu saman kegelepan, memperkarakan pemikiran seseorang, lalu membunuhnya.

Ada ratusan, ribuan, bahkan lebih, yang tak tahu harus bagaimana. Orang-orang yang dituduh terlibat dengan gerakan komunis ruang geraknya dipersempit, lapangan pekerjaan tak mereka dapatkan. Kartu tanda penduduk pun diberi tanda sebagai orang yang perlu diwaspadai.

Iwan Fals, dalam lagunya Engkau Tetap Sahabatku, benar-benar menghantarkan khayalan saya itu. Lagu itu ibarat menanyangkan gambar bergerak. Semakin saya mendengarnya dengan saksama, semakin membuat tubuh saya merinding.

Tersingkir Di Tanah Leluhur

Dulu, lapangan luas ini adalah Kampung DOngi. Kini, lapangan golf PT Vale. Foto: Eko Rusdianto
Yadin Wololi (60 tahun) berjalan di lapangan golf  PT Vale
yang dulunya meruapakan lahan persawahan warga,
@2014 Eko Rusdianto 
Yadin Wololi (60 tahun), berjalan melintasi lapangan golf PT Vale. Menginjakkan kaki di rumput yang tercukur rapi. Dan tiba-tiba melambatkan langkahnya. “Ini letak kampung Dongi dulunya. Dulu rumah di sini rumah berjejer membentuk huruf L besar,” katanya.

“Di tengah kampung, ada lapangan. Di sana juga ada gereja,” lanjutnya.

Dia lalu menyebut beberapa nama orang, mungkin kerabatnya. Menunjukkan letak rumahnya. Tapi semua hanya dalam bayangan. “Ini pohon jambu monyet, saya ingat ini. Ini jambu yang di tanam di halaman rumah,” kenangnya. “Saya kira ini juga pohon mangga yang ada sejak dulu, juga kelapa itu. Ada juga rumpun bambu,”

“Nah tempat kita berdiri ini dulunya sawah. Dulu tanahnya datar, tak ada itu bukit seperti ini. Semua rata. Ini sawah kepala suku kami,”

“Kalau itu mata air. Tak pernah kering, makanya sawah selalu dapat air melimpah,

“Tahun 1950-an itu saya masih menggembalakan kerbau di sekitaran sini. Kadang-kadang membawanya minum di pinggiran danau.”

Imigran Rohingya


Kabir Ahmad memperlihatkan foto anak-anaknya.Eko Rusdianto
Apa yang dilakukan seorang ayah yang terpisah dengan anak dan istrinya di tempat pengungsian?

SENIN 27 April 2015, di sebuah wisma penampungan imigran di ujung jalan Mallombasang, Makassar, seorang warga dari Thailand duduk mengawasi anak perempuannya yang bermain. Memanjat terali pagar dan sesekali menengadahkan tangannya untuk menadah tetesan air hujan dari atap seng.

Kemudian hujan turun menderas dan membuat suara yang ribut. Anak perempuan itu menutup dua telinganya dengan tangan, lalu ayahnya mendekati, bercakap-cakap dengan bahasa Thailand. Lantas sebelum mereka meninggalkan saya, si ayah—bernama Muhammad—berkata dalam Melayu yang masih terbata-bata, “Tunggu saja. Sepertinya dia ada pergi sembahyang ke masjid. Kalau hujan reda, pasti pulang.”

Jelang pukul 5 sore ketika hujan mereda, seorang pria berbadan tegap berkulit coklat gelap berjalan menuju teras halaman wisma. Ia adalah Kabir Ahmad, imigran yang telah saya tunggu itu.

Orangnya ramah. Saat kami berjabat tangan, ia menggenggam kuat dan mengusap lengan saya. “Mari … Mari … Apa yang saya bisa bantu?” Ia mengajak saya menuju kamarnya.

Yang Tersingkir dari Takalar


Bagaimana rasanya bekerja sebagai buruh di tanah sendiri. Orang-orang di Takalar punya jawabannya, tanah mereka "dirampas" paksa oleh PTPN sejak awal tahun 1970-an. 
SABTU 25 Oktober 2014, sejak pukul 11.00hingga jelang petang, bersama seratusan warga yag tergabung dalam Serikat Tani Polongbangkeng berkumpul di bawah pohon beringin di tengah lahan pertanian di Desa Barugaya, Takalar. Mereka duduk beralaskan tanah dan rumput yang mengering karena kemarau panjang guna mencari langkah tepat untuk tetap mempertahankan tanah pertanian, yang bersengketa dengan PT Perkebunan Nusantara XIV Takalar sejak 2008.
Di bawah pohon itu, warga berbagi tempat dengan puluhan ternak sapi dan kuda yang ikut mengaso.Sebelumnya beberapa orang membunuh waktu dengan bermain domino, atau tebak-tebakkan.Beberapa lainnya, membaringkan badan diantara akar pohon, lalu memejamkan mata.
Hasnawati Daeng So’na tiba-tiba berkeliling, meminta setiap orang menyumbang Rp2.000 untuk urunan membeli air minum.“Tak ada terkecuali,” katanya.
Daeng So’na adalah perempuan tangguh. Sekali waktu saya melihatnya mengurus makanan, atau berdiri di baris paling depan saat melakukan demonstrasi. Dan beberapa menit setelah uang terkumpul, diantara kepulan debu di belakang sepeda motornya, dia mengapit dua kardus air mineral diantara pahanya.“Bagi mi ntu air,” katanya.