Senin, September 28, 2015

Pesona kopi

Yolan, memeriksa biji kopi di penjemurannya di wilayah Kotu, Enrekang.

Kopi menciptakan kemakmuran dan perang kekuasaan.

Jabier Amin selalu bahagia dan senang ketika melihat hamparan kebun, memeriksa pohon-pohon, menelisik buah, mengawasi pemetik hingga proses pemilahan biji kopi. Ia kini berusia 61 tahun, dan mulai bertanya-tanya pada diri sendiri tentang pesona kopi, yang membuatnya selalu lupa, jika pagi bisa beranjak sore.   

Ia alumni Institut Pertanian Bogor (IPB) dan bekerja di PT Toarco Jaya, anak perusahaan Key Coffee yang berasal dari Jepang. Perusahaan ini berdiri sejak tahun 1976 di Toraja. Jabier mencintai pekerjaannya dan tak sedikitpun terpercik dalam hati untuk mencari penghasilan lain. Bekerja sebagai seorang ahli tanaman kopi di atas puncak pegunungan Padamaran, Kabupaten Toraja Utara. Menurutnya, kebun kopi ibarat lahan praktek yang menggiurkan. “Saya bersentuhan langsung dengan tanah. Teori-teori yang saya dapatkan di kampus saya praktekkan,” katanya. “Apakah ada kebahagiaan lain ketika bekerja sesuai dengan jurusan dan kemauan. Saya kira tidak.”

Pada Rabu sore, 18 Juni 2014, Jabier berada di ruang kerjanya di Rantepao. Saya menemuinya saat ia baru saja kembali menemani beberapa orang Jepang berkeliling kebun. Saya tak melihat raut kelelahan di wajahnya, bahkan dengan penuh semangat dia berkisah.

Jabier Amin adalah seorang teman ngobrol yang asyik. Tak butuh waktu lama bagi setiap orang akan dengan cepatnya jatuh cinta pada kopi. “Coba kau hirup dulu, kemudian cicipi. Bagaimana rasanya?,” katanya. “Ada asam, sedikit pahit, tapi tak membuat tenggorokan gatal,” kata saya. “Sekarang kau campurkan gula dan rasakan perubahan rasanya,” lanjutnya.


Saya menolak dengan halus, bagi saya mencicipi kopi yang enak tak harus menggunakan gula. “Apakah ini Arabica?,” tanya saya. “Ya ini Arabica. Disini kita tak bicara tentang Robusta. Kamu tahu, orang Jepang dan beberapa penikmat (bukan peminum) kopi di negara mana pun, saat mencicipi kopi memang tak menggunakan gula. Karena dapat merusak citarasa. Dan inilah yang membuat Kopi Toraja terkenal,” kata Jabier Amin.

Saya tertegun agak lama, dan dengan alasan itulah mengapa saya mengunjungi Toraja untuk melihat langsung rupa dan wujud kopi yang sejak berabad-abad lalu telahmenjadi buah bibir masyarakat di Nusantara. “Om tahu (saya menyapa Jabier Amin dengan kata Om), di Makassar warung kopi menjamur dengan hebat. Dan setiap warung kopi mengatakan kopi mereka berasal dari Toraja,” kata saya.  

Jabier Amin tersenyum. Apakah itu jawaban yang sinis, atau jawaban gembira. Tak ada yang pasti.

Di Makassar, booming warung kopi terjadi tahun 2005. Menggunakan bangunan ruko atau pun rumah-rumah sederhana. Tampilan dan desain seadanya, meja ditata berhadap-hadapan dengan kursi plastik, dengan pelanggan yang berjubel dari semua kalangan usia dan pekerjaan. Namun, tak ada yang dapat menghitung jumlah pasti warkop yang tumbuh di Makassar. Beberapa orang hanya bisa memperkirakan; mencapai ratusan bahkan menghampiri seribu kedai.

Dari puluhan warkop yang saya datangi, si pemilik selalu punya jawaban seragam; bahan baku kopi berasal dari Toraja. Ironisnya saya tak menemukan satu pun dari mereka yang mampu menjelaskan, mengapa kopi Toraja begitu populer?

PADA JUNI 2014, saya mengunjungi Toraja, sekitar delapan jam perjalanan menggunakan bus dari Makassar. Toraja adalah wilayah yang cantik, dikelilingi pegunungan yang menjulang tinggi. Rumah-rumah panggung yang bersahaja, dengan atap menyerupai perahu.

Saya meliuk-liuk memasuki jalan desa yang berangkal batu dan tanah merah yang lengket. Saya ingin melihat kebun-kebun kopi masyarakat yang terkenal itu. Dan saya sedikit kecewa, sebab tanaman kopi di Toraja bukanlah hamparan, melainkan diselipkan di antara tanaman lain, di halaman depan atau belakang rumah, bahkan dijadikan pembatas kebun.

Sejak abad 16 para ahli sejarah menyepakati Toraja merupakan wilayah pertama yang menanam tanaman kopi di Sulawesi Selatan, diperkenalkan melalui orang-orang dari Kerajaan Gowa. Salah satu referensi yang menguatkannya adalah Lontaraq Bilang – catatan harian kerajaan Gowa – dalam literasi itu dilukiskan bahwa orang-orang Gowa berlayar membawa kopi menuju Toraja. “Jadi orang Gowa berlayar menuju pelabuhan Suppa (sekarang wilayah Parepare), kemudian berjalan kaki melewati pegunungan Enrekang menuju Toraja,” kata sejarawan Universitas Hasanuddin, Edwar Poelinggomang.

Tanaman kopi, kata Edwar, dibawa pertama kali oleh para saudagar Arab yang mendatangi Makassar. Diperkenalkan sebagai sebuah minuman kekuatan dan penambah vitalitas, membuat mata terjaga dan bahkan tak tidur. Dengan cepat, kabar mengenai khasiat kopi pun tersebar.  Namun untuk membiakkannya, dibutuhkan tempat tinggi dan bersuhu dingin. Dan Toraja memenuhi kriteria itu.

Pada masa itu, Gowa dan Toraja memiliki hubungan yang harmonis. Dalam pelantikan raja-raja Gowa, selain menggunakan pakaian kebesaran dan sebuh badik, maka seorang raja harus memiliki parang Sudanga’ yakni pusaka peninggalan Lakipadada – seorang yang dianggap To Manurung (manusia pertama) dari Toraja. “Saya kira pembentukan pemerintahan di kerajaan Gowa pada masa-masa awal ada hubungannya dengan Toraja. Dan bahkan sangat dekat, seperti hubungan kekeluargaan yang jauh,” Kata Edwar.

Abad 18, kopi menjadi komuditas yang sangat penting untuk masyarakat Sulawesi Selatan. Dikonsumsi oleh semua kalangan tanpa membedakan kelas sosial. Kopi pun menjadi minuman penambah kekuatan untuk pasukan kerajaan dalam menghadapi peperangan. “Jadi di Sulsel, dalam catatan kerajaan, kopi ditanam dan dikonsumsi untuk masyarakat dan perdagangan bukan sebagai minuman kelas bangsawan,” kata Edwar.

Menjelang abad 19 kopi mencapai masa puncak. Dias Paradadimara, sejarawan Universitas Hasanuddin yang pernah meneliti tentang tata niaga kopi di Sulsel, mengatakan jika “mutiara hitam” itu adalah penyelamat utama perdagangan Indonesia sepanjang abad 19, jauh sebelum perkebunan gula dikembangkan pemerintah Hindia Belanda. “Suplai terbesar kopi masa itu adalah Jawa, sebagian Sumatera dan Sulawesi,” kata Dias.

Di Sulawesi Selatan, kata Dias, trend kopi yang meningkat membuat persaingan perdagangan, antara kopi di wilayah Selatan di sekitaran Wajo, Sidenreng, Camba, dan sebagian Sinjai. Sementara wilayah Utara adalah Toraja dan Enrekang.  

Kerajaan Sidenreng yang memiliki pelabuhan Bungin, memasarkan kopi dengan nama Kopi Bungin. Sementara pesaing lainnya yakni kerajaan Bone bersama pedagang Arab, berusaha merebut pasar kopi melalui pelabuhan Palopo.

Secara geografis, Toraja sebagai penghasil kopi utama dan terbaik sangat dekat dengan Palopo (kerajaan Luwu), namun mereka memilih membawa kopi menuju pelabuhan Bungin. Menurut Edwar Poelinggomang, pada abad 19 kerajaan Luwu tak lagi diperhitungkan dalam kancah perdagangan,karena letaknya yang kurang strategis di teluk Bone.

Karena itu, persaingan untuk menguasai perdagangan kopi membuat Kerajaan Luwu bekerjasama dengan Kerajaan Bone melancarkan serangan ke Toraja. Perang kopi ini kemudian dikenal dengan nama penyerbuan Songko Barong.   

Namun, Toraja melalui kerajaan Sangalla yang menjadi wilayah utama perkebunan kopi memberikan perlawanan terhadap Bone dan Luwu. Ketidakpatuhan itu pun semakin ditunjukkan dengan tetap menjual kopi melalui kerajaan Sidenreng dan Wajo. “Jadi masa itu, kopi ditanam sebagai sebuah alat barter, untuk persenjataan. Bukan untuk konsumsi sebab tradisi meminum kopi muncul diera belakangan,” kata Dias Paradadimara.

Sidenreng dan Wajo pada awal abad 19 merupakan pasar potensial dalam perdagangan senjata secara bebas. Pengaruh ini muncul saat Pulau Penang tahun 1776 dibuka menjadi pelabuhan bebas dan akhir abad 18 Inggris membuka Singapura. Karena pengaruh itulah, maka Sidenreng melalui Pelabuhan Bungin memiliki akses langsung pasar. “Masa itu Makassar menjadi pelabuhan yang sangat penting dan kuat, seluruh tanaman kopi dari wilayah timur Indonesia, dan beberapa  dari Sinjai dan Gowa dikapalkan menuju Batavia kemudian ke Singapura. Namun  untuk kopi melalui Pelabuhan Bungin, saya kira tidak melalui Makassar,” kata Dias.

Meredupnya Pasar Kopi
Tahun 1882, pasokan kopi secara internasional tiba-tiba berkurang. Harga kopi jatuh pada titik terendah karena serangan penyakit, yang menyebar melalui Srilanka. Semua tanaman kopi yang berada di daratan rendah mati, termasuk semua titik perkebunan kopi di wilayah Selatan Sulawesi Selatan. “Dan kopi yang bertahan adalah yang berada di daerah ketinggian, termasuk Toraja dan Enrekang,” kata Dias Paradadimara.

“Saya kira dari sini awalnya beberapa petani mengganti tanaman kopi menjadi cengkeh atau komuditas lain yang lebih menjanjikan,” lanjut Dias.

Di Sulawesi Selatan, tanaman kopi tumbuh atas inisiatif dan kemauan masyarakat sendiri, berbeda dengan Jawa, dimana mayoritas komuditas yang ditanam melalui sistem dan program pemerintah atau yang lebih dikenal dengan sistem tanam paksa.

Melihat kemunduran komuditas kopi, pemerintah Belanda mengenalkan kopi varian baru bernama Robusta. Jenis kopi yang tahan hama dan penyakit, dan mampu tumbuh dengan baik, di wilayah daratan rendah dan tinggi. Tanaman kopi inilah yang dengan cepat kembali menyebar di Indonesia termasuk Sulawesi Selatan.

Robusta yang kemudian menjadi bahan dasar utama pembuatan kopi dalam skala besar untuk supermarket dengan beragam campuran, sesuai citarasa daerah masing-masing, seperti kopi Americano, Italiano, dan beberapa lainnya. Namun, demikian harga kopi Robusta yang tetap rendah mengakibatkan beberapa kebun kopi di Sulawesi Selatan terbengkalai.

Tingginya pasokan Robusta masa itu, kata Edwar, membuat pemerintah Belanda menjalankan politik komuditas, yang mengatakan kopi jenis Arabica adalah tanaman imperior alias kopi kelas rendahan. Tidak seperti Robusta yang merupakan kopi kelas superior.

Namun secara diam-diam, kerajaan Gowa yang telah memiliki hubungan dagang dengan Singapura sebagai wilayah pendudukan Inggris, dapat menjual langsung kopi Arabica dari Toraja dan Enrekang sebagai kelas superior. “Belanda itu kan, memang punya kecenderungan membeli harga dengan murah dan menjualnya dengan harga tinggi. Jadi dikatakannya Arabica itu tidak berkualitas,” katanya.

Di kalangan bangsawan di wilayah kerajaan Bone, karena gagal menguasai pasar kopi Toraja, meminta penduduk lokal menanam kopi dan kerajaan menjadi pembeli utama, namun dengan harga yang sangat murah, yakni 27 gulden per pikul atau sekitar sekitar 17 kg. Dan akhirnya sekitar tahun 1847 kebun-kebun kopi di Sulawesi Selatan benar-benar terlantar.

Periode kemunduran kopi kedua, terjadi ketika di Indonesia khususnya Batavia (sekarang Jakarta) merebak penyakit sampar – yakni semacam penyakit muntaber -  dan kemudian dikaitkan dengan kebiasaan meminum kopi. Bahkan dalam sebuah penelitian, ditemukan beberapa masyarakat Tionghoa yang mengkonsumsi teh tak tertular penyakit sampar. “Dengan alasan itulah teh kemudian menjadi komuditas unggulan mengalahkan kopi dan rempah-rempah, bahkan Inggris yang paling utama berjuang merebut pasar teh, dan membuat perang candu,” kata Edwar.

Buntutnya teh, yang telah dikuasai oleh Inggris melalui beberapa daerah jajahannya, memunculkan revolusi Amerika dengan membuang kotak-kotak teh Inggris. “Sejak saat itu, Amerika mendeklarasikan menolak meminum teh, melainkan kopi,” kata Dias Paradadimara. 

Pada dekade tahun 1880-1990 perubahan permintaan komuditas dari hasil alam membuat posisi kopi semakin tertekan. Kopi yang hanya dikonsumsi masyarakat tertentu menjadikannya semakin langka. Di Sulawesi Selatan, masyarakat beralih membuat pelumas alam (oli) dan membudidayakan kelapa sebagai bahan utama pembuatan kopra.

Saat penduduk nusantara terlibat perang sebagai upaya perebutan kemerdekaan hingga pasca perang tahun 1940-an kebun kopi nyaris tak pernah dibicarakan lagi. Dan ironisnya, ketika wilayah Jawa sudah mulai menasionalisasi beberapa perkebunan kopi peninggalan Belanda, di Sulawesi Selatan tak ada kebun khusus. Bahkan perang pun masih berlanjut.

Adalah pemberontakan Kahar Muzakkar (1950-1965), yang lebih dikenal dengan nama Darul Islam Tentara Islam Indonesia (DI/TII) yang berafiliasi dengan Kartosoewirjo di Jawa Barat membuat malapetaka yang berkepanjangan di Sulawesi Selatan. Masyarakat yang berada di wilayah pedesaan dan perkotaan tak dapat bersilaturahmi. Muncul semacam garis imajiner, antara wilayah DI/TII dan Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Mahade Tosalili yang mengalami langsung pergulatan masa DII/TII itu, mengatakan pada saya, berkebun untuk keperluan sendiri sangat sulit, apalagi mengunjungi kebun yang berada di wilayah pegunungan. “Kita bisa dibunuh jika ketahuan,” katanya.

Prof. Halide seorang guru besar Ekonomi dari Universitas Hasanuddin yang menggeluti perdagangan abad 19 di Makassar, menyetujui pandangan itu. “Salah satu penghasil kopi adalah Enrekang dan Toraja. Saat pemberontakan DI/TII Enrekang dan Palopo menjadi basis utama yang mengapit  wilayah Toraja. Jadi akses perdagangan orang Toraja jelas terputus,” katanya.

Kebangkitan Kopi
Tahun 1950, permintaan kopi Sulawesi Selatan untuk ekspor dari berbagai belahan dunia meningkat. Namun, permintaan tak dapat dilaksanakan. Akses perdagangan antar wilayah terputus karena pemberontakan DI/TII. Toraja sebagai wilayah utama penghasil kopi tak memiliki akses pasar.  

Jalan-jalan besar, yang menjadi basis utama pasukan DI/TII khususnya Enrekang dan Palopo, menjadi jalur yang menakutkan. Selalu ada penghadangan hingga perampasan. Bahkan beberapa jembatan yang menghubungkan jalur-jalur utama antar wilayah telah dihancurkan. C. Van Dijk dalam Darul Islam Sebuah Pemberontakan, menuliskan tahun 1950-an ada beberapa daerah yang bahkan menderita kekurangan pasokan pangan. Dan pada akhir tahun 1963 dilaporkan terjadi kekurangan pangan di seluruh Sulawesi Selatan.  

Namun, setelah masa pemberontakan DI/TII di Sulawesi Selatan berakhir tahun 1965, Prof. Halide ditunjuk pemerintah Indonesia menjadi Kepala Departemen Perdagangan Dalam dan Luar Negeri untuk Wilayah Makassar. Tugasnya adalah mengawasi dan memberikan pelayanan untuk komuditas-komuditas dengan nilai ekspor. “Kebun-kebun dan ketakutan orang-orang ke kebun, berangsur membaik. Para petani mulai menggarap lagi, terutama padi dan tentu saja komuditas kopi,” katanya.

“Saya ingat masa itu, Makassar mengekspor kopi sesuai permintaan. Tujuannya adalah Eropa dan Amerika dan paling kurang Sulawesi Selatan mengirim 10 ton,” katanya.

Saat itu, kualitas dan standar kopi untuk ekspor dilakukan di Makassar dengan proses sortir manual. Biji-biji kopi yang rusak disisihkan untuk perdagangan dalam negeri, sementara biji kopi yang sehat akan diekspor. “Saat itu merk dagang ekspor untuk kopi yang berasal dari Sulawesi Selatan adalah Kopi Kalosi,” kata Halide.

Kalosi adalah sebuah nama daerah di wilayah pegunungan Kabupaten Enrekang. Pada masa itu, Kalosi dianggap sebagai penghasil utama kopi dibanding Toraja. Namun pertentangan itu, tak memiliki referensi yang kuat. “Saya kira, pada masa itu, orang-orang Kalosi lah yang awalnya bekerja sebagai pedagang ulung. Dari sinilah kemudian muncul nama Kopi Kalosi,” kata Litha Brent seorang pengusaha dan eksportir kopi sejak tahun 1970.

Jauh sebelum itu, masyarakat Jepang sudah mengenal kualitas kopi Toraja sejak tahun 1932. Dan atas dasar itulah, awal tahun 1970, Key Coffee melalui PT Toarco Jaya membawa para peneliti mengunjungi Toraja. Dan seperti ucapan bingo, mereka menemukan kopi di kebun-kebun rakyat. “Tahun pertama, kami mengumpulkan kopi dari Toraja dan Enrekang. Kami berpikir, rasa dan karakter kopi di dua wilayah ini sama,” kata Jabier.

Toarco mendapatkan lahan seluas 530 ha dengan HGU dari pemerintah Indonesia. Tahun 1976, Toarco memulai penanaman kopi, dan memberikan masyarakat pendidikan serta cara pengelohan kopi yang benar. Tahun 1977, Toarco mendaftarkan Toraja Arabica Coffee sebagai merk dagang internasional. Dan ekspor pertama dilakukan tahun 1979, dalam bentuk green bean menuju Jepang.

Dan sejak ekspor pertama itu, permintaan kopi pun terus meningkat. Setiap tahun Toarco membutuhkan sedikitnya 600 ton. Bahkan pada tahun 1991, Toarco pernah mengirim 1.300 ton green bean

Perkembagan dan pasar kopi untuk jenis Arabica dalam 20 tahun terakhir sangat mahal karena pasokannya menjadi langka. Pelanggan yang sedikit namun menyasar  kelas elite, membuat kopi Toraja mendapat pangsa pasar sendiri.

Dias Paradadimara mengatakan, sejak abad 19 kopi dari Sulawesi Selatan khususnya Toraja selalu memiliki harga yang paling tinggi. Menurut dia, Sulawesi yang secara geologis memiliki tanah dengan struktur tua mejadikan kopinya memiliki kekhasan sendiri. “Jadi kopi yang hidup pada formasi tanah tua, rasa kopi lebih kompleks,” katanya.

Namun dilain sisi, kata Jabier Amin, biaya produksi yang tinggi untuk kopi Toraja mendorongnya menjadi mahal. Perbandingannya untuk satu hektar produksi kopi di Sumatera dan Jawa mencapai hingga 700 kg, sedangkan di Toraja paling maksimal hanya 250 kg/ha.

Tak hanya itu, untuk memetik buah ceri setiap pohon kopi di Toraja dibutuhkan waktu hingga 12 kali. Dibanding Jawa yang hanya enam kali petik. Untuk kondisi alam pun, Toraja mendapat pasokan hujan yang tiada henti hingga mencapai 3.500 milimeter per tahun. Bahkan pada tahun 2010, curah hujan mencapai 5.000 milimeter yang mengakibatkan ekspor kopi tak ada pada tahun 2011.

Menjelang tahun 1990-an perusahaan pembuat kopi Starbucks dari Amerika menciptakan tren baru dalam menikmati  kopi yakni speciality coffee (kopi khusus). Citarasa kopi tidak hanya mengandalkan racikan namun mengikutkan citarasa daerah asal. “Sekarang orang tidak lagi mencari kopi Arabica atau Robusta melainkan mencicipi kopi Gayo, kopi Toraja, Mandailing, Papua atau Brasil,” katanya. “Dan saya kira Toraja, menikmati munculnya boom kopi ini. Karena kekhasan yang muncul itu.”

Kini, lahan-lahan kopi yang ada sejak masa lalu mulai menggeliat lagi. Di Toraja setidaknya ada sembilan titik perdagangan kopi secara tradisional. Para petani dengan pengetahuan seadanya memanen kopi secara tradisonal. Mengupas kulit ceri dengan alat seadanya dan menjemur kopi mengandalkan keadaan alam. (eko rusdianto)

*Laporan ini juga muncul di Majalah Historia edisi Juli 2015.