Selasa, Agustus 20, 2013

Bertahan dalam Ingatan

Suasana jalan itu mendadak berubah, dari kemeriahan menjadi penuh erangan kesakitan, darah, dan orang-orang berlari kalang kabut. Tak seorang pun yang tahu kenapa granat itu meledak diantara mereka.

MENJELANG SIANG, pada Sabtu 6 Juli 2013, di jalan Cendrawasih Makassar, tercipta sebuah kerumunan. Anak muda berlarian dengan ucapan tak jelas, sedikit panik. Beberapa kendaraan yang melintas berhenti di sisi jalan, ibu-ibu menengadahkan kepala dari balik pagar rumah. Sesaat terjadi kemacetan. Namun orang-orang di sisi lain jalan, tetap terlihat santai, ada yang main catur, ada pula yang asyik menghisap rokok. Dan jelang beberapa menit kemudian, suasana kembali normal. Jambret berhasil kabur. “Seperti biasa mas,” kata salah seorang dari mereka.

Di Makassar, jalan Cendrawasih adalah jalan utama menuju Gedung Olahraga Mattoanging (sekarang Stadion Andi Matalatta, yang juga merupakan markas tim sepakbola PSM). Jalan ini diapit oleh jalan Andi Mapanyukki dan Rajawali dan diujung lainnya berbatasan dengan jalan Arif Rate dan Haji Bau.

Bila memasuki jalan Cendrawasih dari arah jalan Haji Bau, maka Anda akan melintasi perumahan perwira TNI dan asrama Kesdam.  Dan jika jeli akan menemukan rumah mantan Pangdam Jenderal M.Jusuf.

Dan hanya sekira 150 meter dari rumah Jenderal M.Jusuf yang sekarang dihuni keluarganya, peristiwa jambret siang itu terjadi. Lalu dari tempat jambret hanya sekira 40 meter, pada 51 tahun lalu terjadi peristiwa pelemparan granat presiden Soekarno.

Safrullah Daeng Kulle, berdiri di sisi jalan menggunakan celana pendek dan kaos berkerah. Dia terlihat asyik berbincang dengan beberapa tukang becak yang sementara mengasoh menunggu penumpang. “Saya sudah SD (sekolah dasar) waktu granat itu meledak di sekitar sini,” katanya sembari menunjuk jalan di depannya. Sesaat kemudian dia hanya melangkah beberapa depa, “ya saya kira disini.”

Daeng Kulle – sapaan akrab Safrullah – lahir tahun 1954. Dia bersama teman-teman sepermainannya berdiri sejak sore di seberang jalan menunggu rombongan presiden Soekarno yang akan melintas menuju GOR Manttoanging. “Semua orang antusias, waktu mobil presiden melintas kami melambaikan tangan dan bersorak-sorak,” katanya.

Di hari yang sama, pada Minggu 7 Januari 1962, di tempat lain, Noorsiah Arman, masih mengerjakan tugas lembur dari kantornya Perusahaan Dagang Negara Jaya Bakti. “Saya pegawai baru. Baru tiga bulan. Jadi bos saya kasi tugas, mungkin untuk menguji,” katanya.

Noorsiah bekerja sejak siang, menjelang petang tugasnya belum kelar. Dan tiba-tiba orang-orang sudah ramai teriak, rombongan RI satu sudah menuju jalan Cendrawasih dan sebentar lagi akan melintas. Seketika, Noorsiah dan ibunya bersama beberapa saudara sepupu menuju jalan utama.

Noorsiah saat itu berusia 20 tahun. Dia lahir pada 10 Mei 1942. Rumah keluarga Noorsiah berada di lorong Tekukur (sekarang jalan Cendrawasih III), hanya sekira 20 meter dari jalan utama, jadi hanya butuh beberapa menit saja untuk mencapai tempat orang-orang berdiri menyambut rombongan presiden.

Suara azan magrib belum terdengar, Noorsiah dengan cekatan menyelinap diantara orang-orang dan berdiri dibarisan paling depan. Ketika suara sirene pengawal Presiden menyeruak melintas, semangatnya semakin bergelora. ”Kita ini kan mau lihat Presiden, walaupun iring-iringan saja,” katanya.

Setelah beberapa menit rombongan presiden itu berlalu, ibu Noorsiah mengajaknya pulang. “Sudah mi, lewatmi rombongan presiden. Ayo pulang,” kata ibunya, yang ditirukan Noorsiah.

Baru beberapa langkah ketika Noorsiah hendak beranjak pulang, sebuah ledakan terjadi. Blarrrr… “Saya kaget. Dan tangan saya tiba-tiba lemas. Dadaku itu dingin, ternyata darah sudah mengucur dari lengan,” katanya.

Tapi dia tetap berjalan menuju rumah. Noorsiah berteriak pada ibunya. “Mama dikena ka. Dikena tanganku,” katanya, sembari memeragakan tangan kanannya dikempit tangan kirinya.

“Jadi waktu saya sudah berlumur darah, mamak saya dudukkan di kursi, di ruamah ini. Dan dia juga ikut panik,” sambungnya.

Beberapa saat kemudian, karena mengeluarkan banyak darah, penglihatan Noorsiah mulai berkunang-kunang. Dia meminta ibunya membawa ke rumah sakit.”Saya dibopong ke depan jalan. Lalu dinaikkan di mobil ambulance. Saya ingat, ada 11 orang di mobil itu, dan dibawa ke rumah sakit Pelamonia.”
  

EDI SUYOTO lahir 8 Agustus 1950, bersama teman-teman lelakinya di lorong jalan Cendrwasih III sedang menentukan pilihan, apakah menunggu iring-iringan Presiden atau ke GOR Mattoanging melihat Presiden menyampaikan pidato. Diskusi mereka berlarut hingga menjelang petang. Tak ada kata sepakat. “Ya akhirnya kami berdiri di sisi jalan. Menunggu rombongan Presiden,” kata Yoto – sapaan akrabnya.

Sisi jalan tempat berdiri Yoto sama dengan Noorsiah, namun jaraknya berkisar sekira 200 meter. Saat Yoto dan teman-temannya belum usai mengagumi rombongan Presiden, ledakan terjadi. Orang-orang berlari penuh hiruk pikuk. Ada yang berdarah dan menangis. “Saya dan kalau tidak salah enam orang, lari menuju tempat ledakan. Tapi semua panik, jadi kami ikut takut. Jadi masuk lorong lagi,” katanya.

Di tempat lain, ketika suara ledakan itu terjadi, Nurisah Daeng Kanang yang saat itu sudah kelas 4 Sekolah Dasar, berlari keluar rumah. Dia menuju tempat ledakan. Namun, seketika nyalinya ciut ketika didapatinya seorang remaja, orang yang dikenalnya sudah bersimbah darah. Kakinya terpotong dan mukanya belepotan darah. “Itu saya ingat betul, namanya Ahmad, kakinya sampai terrpotong. Ada juga Gunsui bajunya robek-robek,” katanya.

SAYA BERTEMU dengan Noorsiah pada Minggu 7 Juli 2013. Hari dan tanggal yang sama ketika dia mengalami peristiwa mengerikan itu. Noorsiah adalah orang yang ramah. Meskipun usianya sudah menjelang 72 tahun, namun rambutnya tak sedikit pun memutih, hanya kulit badannya yang sudah mengeriput.

Pasca peristiwa ledakan itu, Noorsiah menjalani perawatan selama sebulan di rumah sakit Pelamonia. Lengan kanannya meninggalkan bekas, seperti bekas terbakar api kecil. Saat itu, rumah sakit menginginkan tangannya untuk di amputasi, namun keluarga menolak.

Namun, beberapa tahun terakhir, bekas luka percikan itu akhirnya membengkak. Menggumpal seperti lengan atlit binaragawan, tapi bedanya lembek. Memegangnya pun tak ubahnya seperti daging perut, kenyal. “Kata dokter, tidak apa-apa dan tidak ganas. Tapi selalu tumbuh,” kata Noorsiah.

Kami bercerita malam itu di teras rumahnya. Rumah yang sejak dulu berdiri dan tak pernah berubah posisi, hanya bentuk.

Menurutnya, di lokasi ledakan granat itu, berdiri sebuah asrama tentara yang cukup besar sebab memanjang hingga ke jalan Andi Mappanyukki. Gerbang asrama tentara itu mengahadap jalan Cendrawasih dan hampir berhadapan dengan lorong rumah Noorsiah.

Tahun 1950-an hingga tahun 1965, kawasan tempat tinggal Noorsiah beranama Panambungan. Lorong rumahnya bernama jalan Tekukur. Tapi pada tahun 1965 berubah nama menjadi kompleks Patompo.

Pada awalnya, kawasan Panambungan dihuni oleh para pendatang pencari kerja. Rumah di kawasan itu terlihat kumuh sebab bangunan semi permanen bisa terhitung jari. Yang lain hanya berupa gubuk-gubuk seadanya. Lalu pada awal tahun 1965, terjadi sebuah kebakaran hebat, menghanguskan ratusan rumah dan membuat beberapa jiwa kehilangan tempat tinggal.

Walikota Makassar yang saat itu dijabat Patompo, mengeluarkan perintah, bagi para penduduk yang tak dapat membangun kembali bangunan semi permanen dipindahkan di kawasan tanjung. Ratusan penduduk akhirnya berpindah. Termasuk para korban ledakan geranat.

Ketika mengunjungi kawasan relokasi puluhan tahun lalu yang sekarang di kenal sebagai Keluarahan Maccini Sombala, saya berjumpa beberapa orang saksi hidup, termasuk Nursiah Daeng Kanang yang hidup bersama bapaknya Gurussi Daeng Nai. Kondisi mereka tak jauh berbeda saat berada di Panambungan.

Dinding rumah dari seng dan berlantai tanah. “Beginilah keadaannya dek,” kata Nurisah.

Gurussi Daeng Nai sudah menikah dan memiliki tiga orang anak. Pada saat peristiwa ledakan granat di jalan Cendrawasih dia juga bertugas sebagai keamanan kampung. Tukang jaga ronda. Dan saat ini kondisi kesehatannya  pun sudah mulai turun, pikun. Untuk berjalan sekian meter saja, dia menggunakan tongkat pun dengan dipapah cucunya. “Tapi itu peristiwa Cendrawasih saya tahu. Saya tahu,” katanya. 


*Edisi cetak diterbitkan Majalah Historia, Nomor 14 tahun 2013. 

0 comments:

Posting Komentar