Selasa, Agustus 14, 2012

Meneropong Manusia Sulawesi

Gambar cap tangan di Leang Camming Kanang, Pangkep.
Gua-gua di sepanjang Maros dan Pangkep merupakan bukti nyata perdaban manusia di Sulawesi. 

GUGUSAN punggung pegunungan cadas (karst) di Kabupaten Maros dan Pangkep, Sulawesi Selatan, berderet seperti sebuah permainan puzzle. Letaknya beraturan, membentuk ceruk, lembah, dan tebing yang curam. Di sana terdapat ratusan gua yang penuh dengan lukisan cap tangan, lukisan manusia, tinggalan tembikar, alat-alat batu, kerang-kerang laut, hingga tulang-tulang hewan.

Jumlah gua yang memiliki tinggalan arkeologi di karst Maros dan Pangkep mencapai ratusan. Gua-gua itu seperti gua pada umumnya. Ada mulut, ada dinding, ada langit-langit. Ragam gua pun bervariasi. Ada yang memiliki kedalaman ratusan meter, ada pula yang menjulang vertikal. Namun gua-gua ini memiliki daya pikat tersendiri. Ia menjadi gudang ilmu pengetahuan untuk menentukan perjalanan panjang manusia di Sulawesi dan Nusantara.
Pertengahan Mei lalu, Muhammad Nur, peneliti prasejarah Universitas Hasanuddin Makassar, mendampingi sekitar 15 mahasiswa arkeologi Universitas Hasanuddin untuk melakukan ekskavasi di kompleks gua prasejarah Bellae, yang berada di kecamatan Kecamatan Minasa Te’ne, Pangkep. Setelah melakukan ekskavasi, mereka berkumpul di salah satu rumah penduduk.
Muhammad Nur tiba-tiba terkesima dengan sebuah batu yang ukurannya lebih kecil dari bola kasti tapi berbentuk oval. “Ini batu sungai. Jelas ini bukan bagian dari batu kapur seperti bahan batuan dari karst,” katanya.
Dia membolak-balikkan dan mengamatinya dengan tekun. “Ini ditemukan pada spit berapa dan kedalaman berapa?” lanjutnya.
Para mahasiswa saling berpandangan. “Di Leang Lompoa, spit 11, kedalaman 140 sentimeter,” kata Erwin. Leang adalah sebutan masyarakat setempat untuk gua. Sementara spit adalah salah satu teknik dalam peggalian arkeologi yang relatif mudah, meski mesti telaten dan hati-hati.
Menurut Muhammad Nur, batu sungai kemungkinan diangkut manusia di masa lalu ke gua, dan digunakan sebagai penumbuk kerang atau alat lain bagi keperluan sehari-hari. 
Keesokan harinya, tiga tim ekskavasi mahasiswa itu bergegas menuju gua.
Di dinding Lompoa, saat memasuki mulutnya, pada sisi kanan terdapat beberapa jenis kerang, siput dan batu sungai yang menempel di tebing karst. Jika tak jeli, sisa-sisa makanan itu tak ubahnya ornamen gua. “Ini adalah konsumsi manusia pada masa itu. Dulu kerang-kerang ini terkubur di bawah tanah. Tapi tanah gua ini masih aktif dan selalu longsor, jadinya sisa makanan ini tersingkap naik,” kata Muhammad Nur.


Mahasiswa arkeologi Universitas Hasanuddin melakukan penggalian di Leang Lompoa, Pangkep.

Manusia Penghuni Gua
Publikasi mengenai gua-gua itu kali pertama dilakukan naturalis dan etnolog asal Swiss, Paul dan Fritz Sarasin, tahun 1902. Tiga tahun kemudian, mereka menerbitkan hasil petualangan mereka dalam buku dua jilid Reisen in Celebes: Ausgefhrt in Den Jahren 1893-1896 Und 1902-1903. Di buku itulah ada penyebutan manusia penghuni gua itu sebagai To Ala. Orang-orang ini memiliki ciri-ciri fisik seperti orang Wedda yang tinggal di Sailon, selatan India –sekarang Srilanka. Mereka menggunakan peralatan dari logam dan menghias dinding-dinding gua dengan lukisan cap tangan.
Namun arkeolog Australia David Bullbeck, mengatakan Sarasin bersaudara melakukan bias yang sangat besar. Menurut dia, To Ala bukanlah bagian atau orang-orang yang memiliki lukisan dalam gua-gua. “Ciri-ciri orang To Ala yang digambarkan Sarasin (Paul dan Fritz) itu sama seperti orang sekarang,” kata Muhammad Nur.
Muhammad Nur juga mengutip Mattulada, sejarawan Universitas Hasanuddin. Menurut dia, ada kebiasaan masyarakat di Bugis dan Makassar untuk memberikan hukuman adat bagi orang yang melakukan kejahatan. Misalnya, tradisi dipaoppangi tana (orang harus meninggalkan kampung halaman atau diasingkan). Orang-orang dengan hukuman itulah yang kemudian menjadi penghuni gua. “Sebutan To Ala menjadi kata bagi orang-orang yang tinggal di perkampungan dan orang yang berada dalam hutan,” lanjut Muhammad Nur.
Lukisan-lukisan gua yang berada di karst Maros-Pangkep memiliki dua warna, merah dan hitam. Kesimpulan sementara beberapa peneliti, lukisan merah lebih tua dari hitam karena warna hitam di beberapa gua selalu menimpa merah. Namun usia lukisan belum dapat diketahui, sekalipun ada yang memperkirakannya pada fase Austronesia sekitar 4.000 tahun lalu.
Namun menurut Truman Simanjuntak, peneliti dari Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslip) Arkeologi Nasional, seni cadas (rock art) atau lukisan gua bukanlah budaya penutur Austronesia. Budaya seni cadas berkembang di Eropa sejak 30 ribu tahun lalu, sementara di Indonesia atau Asia Tenggara berkembang pada masa awal Holosen sekitar 10.000 sampai 130.000 tahun lalu dan kemungkinan berasal dari Australia.  
Jumlah manusia penghuni gua diperkirakan 10-40 orang. Mereka berinteraksi satu sama lain dan mengembangkan pola hidup mengumpulkan makanan. Tapi pada masa kedatangan penutur Austronesia, orang-orang ini mulai meninggalkan gua.
Menurut Truman Simanjuntak, penutur Austronesia mulai menempati bentang alam terbuka untuk hidup menetap dan mempraktikan proses domestifikasi. “Tentu pada awalnya masih setingkat gubuk, tapi sejalan dengan peningkatan kebutuhan dan di-support dengan teknologi, rumah mereka berkembang lebih kompleks,” ujarnya.

Salah satu gambar yang mirip ikan di Leang Buloribba, Pangkep.

Awal Manusia Sulawesi
Menjelajah kepulauan Sulawesi seperti memasuki jalur misteri. Penuh tanda tanya dan masih berdasar pada kemungkinan-kemungkinan. Ketika beberapa pulau di Nusantara mengalami tingkat penurunan permukaan air laut dan mulai bersambungan, Sulawesi tetap berdiri sendiri.
Menurut Harry Widianto, peneliti Balai Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran, sekitar 18 ribu tahun lalu terjadi perubahan iklim di Eropa dan Amerika. Air laut menjadi es dan permukaan air turun. Efeknya mencapai garis khatulistiwa. Terjadi penurunan permukaan air laut hingga 120 meter yang mengakibatkan laut di sekitar Pulau Sumatra, Kalimantan dan Jawa mengering (Paparan Sunda). Tapi Sulawesi tak mengalami pendangkalan.
A.M. Imran, geolog Universitas Hasanuddin Makassar, mengatakan itu disebabkan Sulawesi memiliki palung laut di setiap sisinya. Namun bukan berarti permukaan air lautnya tak pernah surut. Berdasarkan penelitian Imran tahun 1983 di kabupaten Bulukumba, terjadi tiga kali penurunan permukaan air laut, sekalipun tak signifikan. “Saya kira batuan karst di kawasan karst Maros-Pangkep merupakan paleo beach atau bekas pantai,” katanya.
Perubahan iklim yang berlangsung lama itu mendorong persebaran manusia. Harry memperkirakan persebaran awal manusia (Homo erectus) dari Afrika terjadi pada 1,8 juta tahun lalu. Mereka berjalan ke Asia bagian Tengah, Timur, dan Tenggara, dan menjadi spesies pertama yang bisa beradaptasi dengan iklim, yang dinamakan masa plestosen.
Spesies ini kemudian menyebar ke beberapa wilayah di Asia Tenggara. Peneliti Puslip Arkeologi Nasional Truman Simanjuntak, mengatakan persebaran itu pun sampai ke pulau Sulawesi. Salah salah satu bukti yang menguatkan hal itu adalah ditemukannya peralatan batu (litik) di lembah Wallanae, Cabbenge, Kabupaten Soppeng. “Kemungkinan manusia penghuninya adalah Homo Erectus atau paling tidak Homo Sapiens itu,” kata Simanjuntak dalam emailnya.
“Jadi manusia tertua yang diperkirakan hidup di lembah Wallanae adalah leluhur jauh (tidak langsung) dari manusia Indonesia sekarang, termasuk Sulawesi,” lanjut Simanjuntak. 
Sementara melihat situs pra sejarah lainnya, di gua-gua Maros dan Pangkep hanya ada dua buah gua yang berada pada masa plestosen, yakni Leang Sakapao dan Leang Burung. Sementara ratusan gua lainnya, temuan arkeloginya berada jauh setelah itu, yakni masa Holosen awal 10.000 tahun yang lalu.
Kemudian gelombang migrasi kedua datang, yang merupakan leluhur langsung manusia Indonesia, sekitar 4000 tahun yang lalu, melalui teori Out of Taiwan. Migrasi ini adalah para penutur Austronesia atau ras Mongolid.
Perjalanan migrasi Out of Taiwan dipilih karena jalur melalui Taiwan lebih muda diakses. Dimulai dari China, kemudian menuju Taiwan, dari Taiwan menuju Filipina, lalu turun ke Kalimantan dan Sulawesi. Dari Sulawesi, mereka menuju Kepulauan Polonesia. “Migrasi ini juga dikenal sebagai ‘migrasi kereta cepat’,” kata Harry.
“Mereka datang dari Taiwan dengan sistem teknologi pelayaran sehingga mampu memasuki sungai-sungai,” ujar Truman Simanjuntak.
Dan tinggalan pada gua-gua di Maros dan Pangkep, termasuk lukisan cap tangan, binatang dan beberapa lainnya, bukanlah budaya dari para penutur Austronesia, karena sudah mulai meninggalkan gua.
Jadi setelah kedatangan para penutur Austronesia, kemana kah manusia sebelumnya? “Kemungkinan mereka punah, atau bisa jadi mereka berpindah tempat,” kata Muhammad Nur.
“Yang jelas, dengan temuan-temuan dan tinggalan pada gua Maros dan Pangkep, ini memberi petunjuk, bila Sulawesi sudah dihuni jauh sebelum kedatangan leluhur manusia sekarang,” lanjut Muhammad Nur.
Selain itu, Muhammad Nur mengatakan pentingnya Sulawesi karena merupakan zona percabangan (junction zone). “Jika Sulawesi hilang, urutan-urutan migrasi terutama di kawasan Pasifik dan Asia Tenggara hingga kepulauan akan ikut hilang,” katanya.

Suasana di  Leang Lompoa, Pangkep.
Restorasi
Hingga saat ini, Balai Arkeologi (Balar) Makassar dan Balai Pelestarian dan Peninggalan Purbakala (BP3) Sulawesi Selatan, Barat, dan Tenggara masih mencari cara merestorasi lukisan itu. Kepala BP3 Muhammad Said mengatakan, kondisi lukisan gua saat ini memprihatinkan. Ada banyak yang rusak karena kelakuan pengunjung, masyarakat, lingkungan, hingga aktivitas tambang.
Menurut Said, ada beberapa gua yang berdekatan langsung dengan area penambangan. Misalnya di gua Lambatorang, Kamase, dan Bulu Tengae ada tambang marmer yang hanya berjarak 100 meter. Padahal dalam regulasi sonasi situs, jarak amannya adalah 300 meter, artinya bila menarik garis lurus diameternya mencapai 600 meter.
Aktivitas tambang di sekitar situs akan menerbangkan debu dan mengubah suhu dengan cepat. Putaran angin yang tak menentu akan membawa benda seperti debu dan partikel kecil lainnya, yang bisa menutupi lukisan gua. Sebab, menurut Said, tak mungkin membuat jaring di semua gua untuk menyaring debu.
Pada 2007, BP3 bekerjasama dengan Universitas Hasanuddin dan Balar Makassar melakukan restorasi lukisan di beberapa gua. Namun ternyata tak mudah. Mereka kesulitan mendapatkan bahan-bahan yang sama atau mirip. Dari identifikasi atas lukisan cap tangan di gua-gua Maros-Pangkep dan juga di Bone dan Bantaeng, diyakini bahan yang digunakan berasal dari hematite atau bahan mineral batuan gesper. Namun bahan pelarut dan campurannya masih tanda tanya.
“Kita berharap ada bahan organik dalam campuran hematite itu agar usia lukisan bisa ditentukan,” kata Muhammad Nur.
Lukisan-lukisan gua di Maros-Pangkep memiliki beberapa variasi, selain cap tangan, ada juga gambar binatang, perahu, manusia, ikan, ayam, ular, dan beberapa garis yang bentuknya tak ketahuan. Arkeolog Universitas Hasanuddin Iwan Sumantri mengatakan lukisan itu memberikan gambaran umum kondisi lingkungan pada masanya. “Kalau gambar cap tangan saya kira itu menunjukkan tradisi ritual,” katanya beberapa waktu lalu.
Namun beberapa kondisi lukisan itu mulai memudar. Ada yang terkelupas ada yang sudah tertutupi lumut, atau debu. “Jika dibiarkan berlarut, lukisan gua akan hilang,” kata Budianto Hakim, peneliti Balar Makassar.
Menurut dia, lukisan-lukisan gua rentan rusak bila tak ada cara yang tepat menanganinya. “Dengan kondisi lingkungan dan aktivitas di sekitaran gua, dalam waktu hanya dua tahun lukisan bisa terkelupas, dan itu sudah terjadi,” katanya.
Bila lukisan-lukisan gua tersebut hilang, periode babakan sejarah manusia di Sulawesi atau di Indonesia akan hilang. *

Catatan: Tulisan ini juga dipublikasikan di Majalah Historia, volume III, Juli 2012.