Selasa, Februari 21, 2012

Saya Muslim, Saya Indonesia



SAYA mulai mencintai kebebasan setelah berkenalan dengan banyak orang. Yang paling berkesan perkenalan saya dengan Bissu Saidi dan Daeng Serang. 

Bissu adalah gelar bagi seorang ahli spritual masa kerjaan. Dia menjadi tameng spiritual dan tempat meminta pendapat ketika raja hendak melaksanakan sesuatu (perang atau ritual). Pada cerita epik I La Galigo, peranan bissu pun sangat besar. Bila tokoh utama dalam epik itu adalah Sawerigading, maka tokoh keduanya adalah We Tenriabeng (adik perempuannya). Dikisahkan Sawerigading tak akan mampu mendapatkan wanita pujaannya We Cudai tanpa campur tangan We Tenriabeng.


We Tenriabeng adalah seorang bissu pertama dan terakhir dari kaum perempuan.  Setelah itu bissu yang melanjutkan spiritual yakni kaum wadam. Saidi adalah generasi sekarang –meninggal dunia awal 2011.   

Sementara Daeng Serang seorang seniman tradisional. Keahliannya adalah memukul gendang. Kecepatannya dan keakuratannya menciptakan musik yang bisa buat anda terpukau. Saya ingat Sartika, pertama kali menonton pementasan Daeng Serang. ”Musiknya seperti membius. Kita tak bisa bergerak,” katanya.  

Saidi dan Daeng Serang adalah orang yang mencintai diri sendiri. Keahlian yang mereka miliki digunakan dan disyukuri dengan begitu baik. Mereka menyadari perjalananya dari sebuah proses. Mereka tak mengeyam dunia pendidikan, sama-sama tak menyelesaikan sekolah rakyat.

Daeng Serang memilih berkesenian. Sekolah baginya hanyalah sebuah seremonial. Jiwanya tak pernah ke bangku sekolah.

Saidi juga demikian, walapun pada masa kecilnya selalu ingin belajar dan duduk dibangku sekolah. Tapi karena pasukan DI/TII menggelar operasi taubat memburunya. Niatnya akan sekolah pupus. Semua laki-laki yang berkelakuan seperti perempuan akan dipaksa menjadi laki-laki seutuhnya. Saidi, tak ingin dipaksa. Dia melarikan diri.

Ketika saya bertemu dengan mereka, semua sudah memiliki kulit yang keriput. Masing-masing punya cara khas dalam berceita. Serang yang menggebu-gebu dan Saidi yang lemah lembut. Mereka juga bersahabat.

Bila saya menemuinya, diskusinya akan begitu lama. Cerita bisa melebar kemana-mana. Saya paling senang, ketika mereka menanyakan nama saya. Eko. Nama yang asing bagi orang Sulawesi Selatan. Tapi tak satupun yang mempermasalahkan nama itu. Menurut mereka, siapa pun itu, dan darimana pun asalnya, manusia itu dinilai dari sikapnya. Dan yang bisa menjadikan setiap orang itu memiliki derajat adalah karena kata-katanya. Kata itu seperti ikatan. ”Kan yang bisa didengar hanya ucapan. Jadi kesetiaan dan kpercayaan itu diuji dari kata-katanya,” kata Saidi suatu ketika.

Saya belajar cara menghargai orang lain dari mereka. Menurut Serang, setiap manusia memiliki jiwa baik. ”Kita berteman dengan jiwa baiknya. Jangan dengan jahatnya,” katanya. ”Tapi jiwa jahat menuntun orang untuk berbuat baik. Sama seperti main gendang, ada yang suka ada yang tidak. Saya liat itu dua-duanya nak.”

Saat ini Serang tinggal di kawasan Benteng Somba Opu. Dia menempati sebuah rumah panggung bersama keluarga. Mendirikan sanggar seni. Punya rak kaca kecil untuk jualan minuman ringan dan rokok.

SEBUAH buku terbitan 1995 sudah sampai di tanganku. Dia ditulis seorang Belanda bernama Cornelis Van Dijk judulnya Darul Islam sebuah Pemberontakan. Jumlah halamannya 409. Tulisannya kecil-kecil dengan spasi yang rapat-rapat.

Saya memesan buku ini pada sebuah toko buku online. Sejak 2008 saya jatuh cinta dengan masa pergelokan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia. Saya mencari tahu sebab apa pergolakan itu muncul. Saya menemukan banyak cerita.

Menurut saya apa pun bentuk peperangan dan pergolakan yang dilakukan atas nama agama tidaklah menyenangkan. Itu keliru. Semua kepercayaan menyenangkan, semua kepercayaan mengajarkan kedamaian.  

Ketika Kartosoewiryo di Jawa Tengah memproklamirkan Negara Islam Indonesia, aparat negara ketakutan. Pengerahan kekuatan bersenjata dilakukan. Ada saling tembak, ada saling bunuh. Di Sulawesi Selatan pergolakan itu sampai juga. Adalah Kahar Muzakkar, pada 20 Januari 1952 secara resmi menyatakan penggabungannya ke NII. Dia menjadi panglima Divisi IV Tentara Islam Indonesia. Dan nama gerakannya ikut berubah dari Tentara Keamanan Republik (TKR) menjadi TII.

Ideologi yang berubah itu menjadikan strategi ikut berubah. Kahar mulai melenyapkan praktek-praktek tradisional di Sulawesi Selatan. Hampir semua kehidupan diatur. Sebelum pernyataan penggabungan itu dilakukan dulu konferensi pemimpin gerilya NII atau Republik Islam Indonesia (RII) kelak perjanjian ini dikenal dengan nama Piagam Makkalua – tempat konferesni itu digelar.

Gerakan ini menciptakan ketakutan yang luar biasa. Pada masa itu diperkirakan ribuan orang mengungsi dari kampung-kampung. Yang paling besar berada di Palopo (Luwu) dan Parepare. Saya bertemu dengan beberapa orang yang mengalami ketakutan itu. Ada yang melihat orang tua mereka dibunuh, ada yang melihat kampung mereka dibakar, ada orang tua yang memberikan nama islam untuk anaknya agar tetap selamat. Saya menghela nafas mendengar semua cerita itu.

Bissu Saidi berada dilingkaran terancam, karena mempertahankan kepercayaan leluhur sebagai ahli spiritual. Saidi melakukan perjalanan dari Pangkep melalui hutan menuju Bone. Ditempuhnya hingga beberapa hari.

Menurut saya ini adalah masa kelam pasca pembunuhan yang dilakukan Westerling. Masa ini adalah masa dimana semua hal menjadi menakutkan. Tapi masa ini pula yang menciptakan orang-orang dihormati dan masih hidup sampai sekarang.

Mulyani Hasan, seorang kawan saya mungkin benar. Bila yang ada di dunia ini hanya sebuah pengulangan. Berputar-putar. Apakah masa-masa pergolakan itu berulang sekarang? Kepercayaan -kepercayaan setiap orang masing-masing merasa superior.

Ahmadiyah, Lia Eden, Naksabandiyah, rumah ibadah disegel, hingga kemunculan aliran-aliran kepercayaan dianggap illegal.      

Saya seorang muslim. Saya mencintai agama saya, tapi tak menyenangi cerita kekerasan apalagi pembunuhan. Apa pun alasannya. Kepercayaan dan praktek-praktek peradaban adalah bagian kehidupan yang membuat saya mencintai ke Indonesiaan saya.

”Pertikaian terjadi ketika jiwa jahat muncul, jiwa yang tak menghargai orang lain sebagai bagian dari manusia.”

3 komentar:

  1. ditunggu kehadirannya di www.tanaogi.com yahh

    BalasHapus
  2. Wah!!aku suka tulisan ini, btw ini karya aslikan bg Eko. he,,he,,he,apa ada dipublis media ni artikel ini bg Eko? Aceh juga lagi marak-maraknya ttg aksi berbau-bau SARA.

    BalasHapus
  3. Bagus sekali Ko!
    Aku suka sekali tulisan ini... :)
    Kamu memang membanggakan!

    BalasHapus