Senin, November 28, 2011
Di Balik Tembok Istana Luwu
Istana Datu Luwu di Kota Palopo. Foto: Eko Rusdianto |
Di depan bangunan Istana ada beberapa tiang yang sudah rapuh. Bentuknya sudah tidak berdiri tegak, bengkok karena bagian tengah telah kosong di gerogoti rayap.
Istana kedatuan Luwu itu masih berdiri, kecil tapi tak terawat. Temboknya dicat dengan pewarna murahan. Dia seperti pertapa yang dilupakan, ditelantarkan oleh riuhnya pembangunan kota Palopo.
Sebuah sore pada Sabtu, 26 November 2011, saya berkunjung ke istana itu. Udaranya sejuk, hampir tak ada debu. Kompleks istana itu berdiri di lahan yang lapang. Ada bangunan dengan tembok dan rumah panggung yang besar.
Minggu, November 20, 2011
Di Desa Nuha
Hafid, siswa kelas 4 Sekolah Dasar berlari, mengejar kawannya. Gerakannya lincah. Pakai celana pendek dengan baju kemeja kuning. Lai, seorang ibu rumah tangga, duduk di depan warung kecilnya. Dua anak perempuannya berada di sampingnya. Fajrin, siswa kelas 5 Sekolah Dasar asik bermain sepeda. Dia mengganggu kawannya bermain.
“Saya nda main, malas,” kata Fajrin mengangkat dua bahunya. “Bukan kelas lawanmu kah,” kata saya. “Iya. Nda bisa lawanka ini semua,” lanjutnya.
Sampah Kertas untuk Lukisan
Foto: Doni Setiadi |
Di lantai dua sebuah rumah panggung nomor 18, di Jalan Panguriseng, Sorowako, ada sebuah kamar ukurannya 3x4 meter. Berdinding tripleks. Dan beratap seng. Panas dan pengab. Ada dua meja kecil dan rak untuk memajang hasil karya.
Kamis, November 10, 2011
Sepanjang Cerita Gondrong
Rambut gondrong punya cerita panjang, pernah dianggap tak pantas, lalu diberantas di masa Orde Baru. Bahkan disamakan dengan Gerombolan.
Saya mulai memanjangkan rambut sejak dua tahun lalu. Rambut panjang selalu membuat saya bahagia. Bukan untuk gaya-gayaan, tapi untuk menunjukan keseriusan. Bagi saya rambut seperti cerminan keperibadian. Saya memanjangkan rambut, karena yakin bisa merawatnya. Orang yang tak dapat memanjangkan rambut, adalah orang malas. Terlepas dari mereka tidak suka.
Selasa, November 01, 2011
Desa Pandai Besi yang Hilang
"Generasi kami, termasuk saya, tak ada yang meneruskan tradisi pandai besi," kata Mahding, 72 tahun, warga Desa Matano. (Foto: Doni Setiadi) |
Di balik keindahan mata air dan danaunya, Desa Matano menyimpan kisah para pandai besi yang tersohor di Nusantara.
MATANO seperti terpencil dan sendiri. Jalanannya tak beraspal dan dipenuhi debu bila musim kemarau. Penduduknya berladang, menanam sayur dan kakao, serta bekerja sebagai nelayan. Desa ini jauh tertinggal dibandingkan Sorowako, kota yang tumbuh dengan pesat karena perekonomiannya ditopang oleh keberadaan perusahaan tambang PT Inco.
Langganan:
Postingan (Atom)