Minggu, Oktober 16, 2011

Mengenang Peristiwa 1950

Kamis, 13 Oktober 2011, saya bertemu dengan ketua dewan adat Padoe, Thomas Lasampa, di kediamannya yang sederhana di Kecamatan Wasuponda, Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Lasampa adalah orang yang ramah, menjabat tangan dengan keras, dan tertawanya lepas.

Rambutnya putih, pakai celana kain coklat, dan wajahya sedikit basah. Lasampa keringatan. Di dinding rumah ada tergantung sebuah pedang (samurai), ada alat musik kecapi, di sudut lain ada pajangan foto acara wisuda.

Kami duduk di sofa yang sudah usang, tidak empuk lagi. Rumah Lasampa berdinding papan, lantainya dari semen halus, ruang tamunya menyatu dengan tempat bekerja. Ada sebuah meja dan beberapa tumpukan kertas, buku dan album foto. “Saya lahir di sini. Saya asli orang Padoe,” katanya.


Padoe adalah suku yang mendiami daerah terpencil di Luwu Timur. Orang Padoe tersebar di beberapa tempat, termasuk Wasuponda dan Sorowako. Saat ini orang Padoe lebih banyak bermukim di Wasuponda.

Padoe atau dalam bahasa setempatnya adalah orang-orang dari jauh, atau saudara dari nan jauh. Padoe adalah bagian dari 12 anak suku dibawah pemerintahan Kedatuan Luwu (kerajaan Luwu). Bila pemimpin Kedatuan Luwu menggelar sebuah hajatan, selalu mempersiapkan tempat khusus untuk orang-orang Padoe. “Dalam ceritanya, kami (Padoe) selalu diberi tempat yang baik, karena memang dianggap suku yang jauh. Dan tentu Datu Luwu menghargai kedatangan kami yang datang dalam keadaan capek,” kata Lasampa.

Pada mulanya, kepercayaan orang-orang Padoe adalah Melahomua, sebuah alairan kepercayaan yang meyakini kekuatan alam, pohon yang dianggap keramat, gunung, bukit, hingga hal-hal kecil lainnya. Biasanya para warga Padoe akan memberikan sesajen pada benda yang dianggap bisa membawa berkah.

Pada tahun 1920-an misionaris mengunjungi Padoe. Membangun komunikasi dan membawa ajaran baru keyakinan nasrani. Menurut Lasampa, pada awalnya sangat sedikit yang mengikuti ajaran Isya itu. Tapi seiring waktu, ajaran nasrani mulai akrab dengan masyarkat Padoe. Dan pelan-pelan menganutnya.

Kees Buijs seorang antropolog dari Belanda, dalam bukunya Kuasa Berkat dari Belantara dan Langit, mengkritik agama sebagai ajaran baru yang mengikis kebudayaan dan kearifan lokal.

Agama menurut Buijs pada prinsipnya untuk kebaikan, tapi di tempat lain menggeser beberapa kearifan masyarakat yang sudah terjaga selama bertahun-tahun. Buijs adalah seorang misionaris yang ditugaskan memasuki pedalaman Mamasa, Sulawesi Barat. Membuat sekolah dan mengajak masyarakat ikut dalam kepercayaan nasrani. “Satu sisi itu tugas saya mengkristenkan orang, tapi sisi lainnya sebagai seorang antropolog, saya khawatir melihat pergeseran kebudayaan,” katanya.

Buijs memberi contoh, kepercayaan di Toraja, dengan seorang imam perempuan atau To Burake yang kini hilang. To Burake dianggap tak sesuai dengan ajaran satu ketuhanan. To Burake adalah imam yang menjaga hutan dan meminta pemberkatan untuk urusan duniawi. Menurut Buijs, kenapa agama membawa perubahan penting, karena kepercayaannya bersumber hanya pada satu yakni tuhan langit.

“Mungkin saja kalau kepercayaan asli Padoe bertahan hingga sekarang, bisa jadi hutan tak ada yang gundul,” kata Lasampa.

LASAMPA lahir tahun 1945 itu menurut SK Guru-nya.Tapi seingat dia, pada masa pendudukan Jepang tahun 1945, dia sudah berlari. Dia ingat bagaimana rupa-rupa orang Jepang. "Biasanya mereka menyebar pamflet, dan saya berlari ambil itu selebaran. Mungkin usia saya sudah sekitar 6 atau tahun, karena itu saya ingat dengan detail," katanya. 

Lasampa adalah pemeluk kepercayaan nasrani. Tapi pada tahun-tahun awal masa pergerakan Darul Islam Tentara Islam Indonesia (DI/TII) yang dipimpin Kahar Muzakkar sejak 1950 hingga 1965 adalah masa suram yang membuat matanya sembab bercerita. “Itu masa yang pahit,” katanya.

Pada masa pergerakan itu, ada ratusan orang pasukan Kahar Muzakkar berkeliling desa dan kampung-kampung. Pasukan itu melakukan pemeriksaan dan memaksakan ajaran muslim. Dari ujung Makassar hingga ke suku Padoe yang jauh.
Saya bertemu dengan Bissu Saidi, pada April 2011. Dia menceritakan pengalamannya pada masa pergerakan DI/TII. Untuk menghindari pembunuhan dia melarikan diri dari Kabupaten Pangkep ke Kabupaten Bone melalui jalur hutan dan gunung. Kepercayaan bissu yang menganalogikan diri sebagai perantara untuk manusia di langit dan bumi dianggap sebuah penyelewangan dan pembangkangan. “Dubunuhki nak. Digerek (dipotong) orang,” kata Saidi.   

Di Padoe pada suatu hari di tahun 1950, beberapa orang utusan mendatangi rumah Lasampa. Dia memanggil ayahnya untuk ikut dalam sebuah perundingan di Sorowako. Mereka menggunakan sebuah mobil. Ketika tiba di Sorowako, perundingan itu dipindahkan di salah satu kampung diseberang danau Matano.

Bersama 38 orang yang ikut dalam delegasi perundingan menurut saja. Ditengah perairan Matano para delegasi menemui ajal. Mereka dibantai. Jenasahnya tidak dibuang ke danau tapi dibawa kembali ke daratan. Ayah Lasampa tentu tak terkecuali, tangan dan kakinya terpenggal. Tiga hari kemudian, jenasah sang ayah yang ada dibawah pohon dengan posisi duduk dijemput.  

Ayahnya adalah salah seorang tokoh adat Padoe. Ketika jenasahnya tiba diperkampungan, sebagian masyarakat menyambutnya dalam kedukaan dan menyembelih kerbau. Menggunakan Kandaware atau peti usungan jenasah. “Itu usungannya besar. Ada dua orang berdiri dimasing-masing peti,” kata Lasampa. “Jadi saya belum sekolah dan orang tua sudah tidak ada.”

Pada tahun 1952, saat upacara peringatan kemerdekaan Indonesia di lapangan di desa Timampu, seorang pasukan “gerombolan” membacakan pidato dengan berapi-api. Mereka meminta setiap kepercayaan yang bukan muslim agar memeluk kepercayaan Muhammad itu. “Kalau ada yang memelihara babi, diberi kesempatan seminggu untuk pulang dan membantai babinya,” ujar Lasampa.

Semua orang ketakutan. Keluarga lasampa juga demikian. Dan ditahun yang sama, semua orang wajib belajar ngaji. Tak ada pilihan. Bagaimana tidak, melihat anggota “gerombolan” itu saja nyali sudah ciut, bila berjalan, sangat menakutkan.
Gerombalan adalah ungkapan masyarakat di Sulawesi Selatan untuk menyebut pasukan Kahar Muzakkar yang tergabung dalam DI/TII.

Ada beberapa nama para gerombolan yang Lasampa ingat, yakni Bung Amal dan Bung Tore. Pasca kemerdekaan nama Bung untuk sapaan setiap orang memang sangat lasim. Kahar Muzakkar pun demikian, dari pasukannya dia disapa dengan Bung Kahar.

Selama dua tahun Lasampa mengenyam pendidikan membaca Al-Quran. Saat saya bertemu dengannya pada Kamis, 13 Oktober 2011 di rumahnya, dia masih mampu malafalkan surah Al-Kautsar dengan fasih. “Saya juga masih tahu kalimat sahadat itu,” katanya.

Tahun 1954 keluarga Lasampa tak tahan dengan intimidasi dan ketakutan. Keyakinan dan kepercayaannya belum mampu menerima islam dengan bijak. Akhirnya mereka mengungsi ke Malili. Beberapa keluarga lainnya tersebar ke daerah-daerah sekitar Wasuponda.

Tahun 1968 ketika perusahan tambang nickel PT.Inco membuka eksplorasinya, perlahan para penduduk yang tersingkir mulai mendatangi kembali daerahnya. Awal tahun 1990-an, Lasampa dan beberapa kawannya berinisiatif membentuk paguyuban adat untuk mempersatukan para pelarian. Akhirnya disepakati namanya lembaga adat itu Passitabe atau orang yang mengerti adat dan kesopanan.

Kini warga Padoe yang tercatat untuk anak-anak sebanyak 10.000 jiwa dan dewasa 8.000 jiwa. “Sekarang kami mulai berkumpul kembali setelah berpisah puluhan tahun,” kata Lasampa. (Eko Rusdianto)  

0 comments:

Posting Komentar