Jumat, Oktober 21, 2011

Ini Tentang Kami

Oleh: Sartika Nasmar
BAGI saya, menjalin hubungan pacaran selama hampir delapan tahun bukanlah hal yang mudah. Jatuh Bangun bak sebuah lagu dangdut yang dilantunkan oleh Kristina. Atau Putus Nyambung seperti yang dinyanyikan oleh Bukan Bintang Biasa. Tapi, itu bukan lagu favorit kami. Eko senang mendengarkan lagu-lagu Iwan Fals dan Frank Sinatra. Sedangkan saya, senang lagu apa saja yang pasti buat hati senang dan gembira.

“Kalau menyanyi mi Tika, berarti senang mi hatinya,” begitu Eko mengandaikan suasana hati saya.


Kami berkenalan di sebuah kampus bernama STIKOM (Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi) Fajar Makassar. Saya masuk pada tahun 2002 dan Eko 2003. Lalu semakin dekat saat mengikuti sebuah Unit Kegiatan Mahasiswa yakni Sanggar Seni Karampuang. Kami latihan teater bersama untuk pertunjukan di Kota Palu pada tahun 2004. Dan, Eko menyatakan suka pada saya setelah pulang dari Palu. Yah, sebulan setelah pertunjukan. Di bulan Maret.

Dulu kami sering saling berbalas puisi, sekarang tidak lagi. Cara kami saling peduli sudah berubah. Eko dan saya saling memperlihatkan tulisan, saling kritik dan saling memuji. Eko sering mengirimkan tulisannya kepada saya sebelum dia mengirimnya ke tempatnya bekerja atau hanya sekedar untuk membaginya ke blog atau facebook. Ini sebuah kebanggaan buat saya, menurut Eko saya lebih teliti dalam memperhatikan tiap kata dan alur. Tapi, kami selalu saling belajar dan mendukung. Eko tak pernah berhenti ingin menulis sedangkan saya, jarang melakukannya. Lalu, dia akan mengkritik saya yang selalu malas.

Kami pasangan yang tidak kompak. Memiliki banyak perbedaan. Namun perbedaan banyak membantu kami saling memahami.

Banyak yang mengejek ketika kami berjalan berdua, Eko yang tinggi dan kurus, saya yang pendek dan agak gemuk. Seperti angka sepuluh, kata banyak orang. Ketika pergi bersama, kami jarang beriringan. Eko selalu berjalan lebih cepat, saya agak lamban.

Di tahun-tahun pertama jadian, Eko belum memiliki motor. Untuk menuju suatu tempat, kami biasanya naik angkot atau becak. Kadang, kami meminjam motor teman. Namun, rasanya tak enak. Kami berdua tak suka meminjam barang orang.

Pada tahun 2007, kami berdua wisuda. Eko selalu membanggakan diri karena kami wisuda bersama. Menurutnya, dia lebih berprestasi. Saya tersenyum saja, walau kadang-kadang terpaksa harus komplein. Mengalah pada anak manja, pikirku.  Tak ada yang salah melakukannya.

Eko sangat manja, keras kepala tapi konsisten. Merasa tak nyaman tanpa parfum, tak mau pakai celana Jeans yang bukan merk Levis 501 dan suka membeli sepatu. Dia memang tak pernah membeli celana, semua celana jeans yang dia pakai adalah hadiah dari ayah dan saudaranya yang bekerja sebagai pelaut. Tapi, beberapa di antara kebiasaan buruk itu tak dia inginkan lagi. Beberapa bulan lalu, dia mengirimkan pesan ke saya saat ingin membeli celana jeans dengan merk yang lain dan lebih murah. Saya bersyukur, akhirnya ada yang berubah. Dia juga sudah bersedia menggunakan pakaian cakar (pakaian bekas yang dijual kembali) hadiah dari saya.

Kami bukan pasangan yang romantis. Kami tak pernah saling memberi hadiah atau melakukan sesuatu seperti di film-film romantis. Sejak pacaran, baru sekali saya memberi hadiah ulang tahun ke Eko. Pada September 2011, baru-baru saja. Saya memberinya sebuah pin bergambar gelas kopi. Ada tulisannya, Coffee House. Saya memberinya mengingat Eko suka sekali minum kopi. Kepalanya sakit dan akan kelihatan gelisah jika tak mengunjungi warkop dalam sehari.

“Eko, minum kopi itu tak mesti ke warkop. Menikmati kopi di rumah juga menyenangkan,” kataku saat memberinya hadiah.

HANYA selang beberapa bulan saja kami jadian, Eko mengajak saya ke rumahnya di Kecamatan Suli, Kabupaten Luwu. Kebetulan saat itu saya juga ingin pulang ke rumah orang tua saya. Liburan. Kami tiba di Suli saat subuh. Ibu Eko membukakan kami pintu. Saat itu, kami datang bertiga. Saya, Eko dan Iwan, adik Eko. Masih di depan pintu, Eko memperkenalkan saya ke ibunya. Rasanya begitu malu-malu. Itu kali pertama berkenalan dengan orang tua pacar saya. Nama ibu Eko, Tumini, perempuan asal Jawa Timur. Ramah dan menyenangkan.

“Oh, ini mi dibilang Tika,” kata ibu Eko.

Saya heran, kenapa ibu Eko mengetahui nama saya. Tampaknya Eko sudah bercerita sebelumnya. Senang sekali hati saya. Kami tidak banyak ngobrol subuh itu, ibu Eko menyarankan kami untuk istirahat. Saya tidur di kamar bersama adik perempuan Eko bernama Tina. Dan, saya bangun pukul delapan pagi. Sarapan dan bersiap-siap berangkat ke Kecamatan Burau, Kabupaten Luwu Timur, di sebuah rumah dinas yang ditempati keluarga saya tinggal.

Saya mengenalkan Eko ke ibu saya setelah wisuda berlangsung. Itu secara serius, walau sebelumnya ibu dan ayah saya sudah tahu kami pacaran. Waktu itu saya mengajak Eko bertemu dengan ibu saya di Mal Panakkukang. Eko terlihat sangat tegang. Entahlah, mungkin memang seperti itu karena raut wajahnya memang selalu tampak serius.

Saat orang tua saya atau orang tua Eko berkunjung ke Makassar, kami berdua selalu menyempatkan diri bertemu mereka, walau hanya sebentar. Kami belajar saling menghargai dan mengenal satu sama lain dengan keluarga masing-masing. Jalan-jalan atau makan bersama. Tak hanya orang tua tentunya, saudara-saudara pun sudah begitu dekat. Kakak dan adik saya, sudah mengenal Eko dengan baik. Begitu juga adik-adik Eko, semua mengenal saya.

Pada 1 Oktober 2011, Eko pindah ke Sorowako dan bekerja di sana selama 15 bulan. Saya senang dia berada di sana, jarak kami tidak begitu jauh. Hanya 12 jam perjalanan darat dengan menggunakan bis. Saya tak banyak cemas, karena di sana juga tidak jauh dari rumah tinggal Ibu saya yakni di Malili. Saya selalu meminta Eko agar rajin menjenguk ibu dan saudara-saudara saya di sana. Kadang-kadang, saya menyuruhnya mencabut singkong di kebun samping rumah dan membawa pulang ke Sorowako, tapi sayang Eko bukan tipe laki-laki yang suka dengan kebun.

Tapi, saya bahagia ketika Eko mengirimkan pesan ke saya, mengatakan bahwa Ibu sudah mulai membaik dari sakit perutnya. Eko ke rumah menjenguk ibu.

TAHUN demi tahun, sangat cepat berlalu. Masih begitu jelas diingatan saya, apa yang sudah kami lalui bersama. Menangis, ketawa, sedih, saling menguatkan dan dukungan yang luar biasa. Banyak perubahan yang baik terjadi dalam kehidupan kami masing-masing. Banyak yang suka, banyak yang benci. Kami masih bersama.

Banyak yang mendukung kami menikah, tapi ini tentu saja bukan hal yang mudah. Apalagi dengan tradisi yang ada di Sulawesi Selatan. Uang selalu jadi tolak ukur. Panaik’ (uang mahar yang diserahkan oleh pihak laki-laki ke pihak perempuan) keluarga inilah, itulah dan segala embel-embel yang berhubungan dengan uang. Menyebalkan. Namun, tak hanya mesti siap itu. Kupikir banyak yang benar-benar harus dipersiapkan dengan matang. Saya tak ingin kematangan kami berdua diukur dari uang.

Saya dan Eko sudah pernah merencanakan pernikahan. Bosan juga rasanya ditanya terus menerus, kapan menikah? Nasehat ini dan itu sudah mantul di telinga. “Pokoknya tidak lagi masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri. Tapi mantul, jadi nda masuk-masuk,” kataku pada Eko.

Tak ada yang tahu apa yang terjadi esok. Kami masih menyusuri rencana-rencana. Sekarang, ada jarak yang buat kami tak bisa saling bertemu langsung. Komunikasi melalui ponsel, email, YM dan facebook banyak membantu kami. Setiap hari. Membicarakan hal yang besar hingga yang terkecil. Saya dan Eko selalu saling mengabarkan kegiatan masing-masing, bukan untuk saling mengontrol. Tapi saling berbagi.

Kami masih bersama. Setelah Putus Nyambung dan Jatuh Bangun.

0 comments:

Posting Komentar