Kamis, Oktober 20, 2011

Cerita 17 - Surat untuk Papua

Saya tidak tahu apakah berdiri sendiri seperti Timor Leste lebih baik untuk Papua. Saya juga tidak tahu apakah otonomi khusus untuk Papua akan menyelesaikan masalah? Dari Sulawesi Selatan saya hanya membaca, samar-samar dan penuh tanya, apa gerangan terjadi di bumi ujung timur Indonesia itu.


Pada Rabu, 19 Oktober 2011, di lapangan Sakeus Padang Bulan Abepura, kalian melaksanakan kongres Rakyat Papua III. Saya tak tahu apa yang kalian bicarakan, tapi itu adalah hak semua warga untuk berkumpul dan berserikat. Tapi sebelum pertemuan itu, ada serombongan pasukan mengawasi kalian. Lalu tiba-tiba membubarkan paksa pertemuan itu. Ada sekitar 200 orang ditahan, tak ketingalan beberapa mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi Fajar Timur, Abepura.

Saya mengira-ngira bagaimana kepanikan yang membalut hari itu. Ada orang-orang yang lari ke kebun-kebun, ke kampus dan jalanan. Lalu suara datang membela kalian, dari seluruh penjuru negeri ini; Papua butuh perlindungan. Tapi, saya berpikir lain, kalian tak butuh perlindungan. Rakyat Papua mampu melindungi dan mengatur dirinya sendiri.


Ingin sekali rasanya menginjakkan kaki ke tanah Papua. Mendengar kabar tentang kemegahan Raja Ampat, lembah Baliem, gunung-gunungnya, tanah emasnya, dan kehebatan suku bangsanya. Papua adalah pulau yang menakjubkan, tanah yang seharusnya dijanjikan untuk perdamaian. Bukan tanah pertikaian.


Tapi, beberapa pandangan mengatakan Papua adalah konflik yang didesain orang luar. Papua ibaratnya televisi yang remot kontrolnya dipegang banyak orang, namun ditentukan segelintir orang.


Sejak saya sekolah dan mulai mengenal Papua dalam buku-buku pelajaran. Papua adalah sebuah suku terpencil, suku pedalaman yang jelek, orang-orangnya memakan sesama, kanibal. Bahkan Papua selalu menjadi olok-olok untuk menerangkan kebodohan. Cukup lama, pikiran itu mengendap di kepala. Di sekolah kami juga tak pernah diperkenalkan bagaimana budayanya. Papua adalah pandangan buta bagi saya. Papua negeri jauh yang tak terjamah.


Tapi perlahan saya mulai membuka mata atas bangsa Papua itu. Saya menemukan beberapa catatan yang mengejutkan. Papua adalah misteri tentang kebesaran. Papua adalah cerita kesedihan.


Ada banyak orang Papua yang menjadi korban kekerasan Negara. Ada ibu yang kelihangan anak, ada istri kehilangan suami, ada suami kehilangan istri. Tapi korban-korban itu, taka da yang memedulikannya. Negara tak menolongnya, atau Negara memang sengaja meninggalkannya.


Saya memperhatikan setiap tulisan tentang Papua. Melihat tayangan film-nya. Kalau kalian tahu film yang judulnya Denias, besutan Ari Sihasale dan Nia Daniati, kalian akan mengerti bagaimana orang Papua sebagai pekerja, punya semangat dan kemauan keras.


Ada juga Ahmad Yunus dan Farid Gaban yang melakukan perjalanan keliling Indonesia. Saya melihat video mereka waktu mengunjungi Papua. Di tayangan itu, jalan dengan kubangan berlumpur dan pembangunan yang sangat sedikit. Sedih melihat itu.  


Orang Papua memiliki kulit hitam. Rambutnya keriting dan badannya kekar. Pada Maret 2011, ketika saya mengunjungi kompleks taman purbakala di Maros, saya bertemu Pre-Historian atau peneliti Prasejarah dari Arkeologi, Universitas Hasanuddin Makassar, Tato Muhammad Nur.


Tato Muhammad sudah 20 tahun terkhir meneliti gua-gua rasejarah. Dia mencermati lukisan-lukisan gua, dari binatang dan cap tangan.  Dia punya kesimpulan, dengan penemuan tengkorak manusia gua Petta Kere pada tahun 1978 menunjukkan kebudayaan Sulawesi Selatan adalah bangsa yang tua.


Menurut Tato Muhammad, kelompok manusia gua mendiami gua-gua itu dari Mongoloid yang berlayar masuk melalui perairan Indonesia sekitar 4.500 tahun yang lalu. Dan berasal dari ras Australomelanesia yang sekarang dicirikan sebagai orang-orang yang mendiami daratan Papua. “Ingat, melas dalam arti sebenarnya adalah hitam,” katanya. 


Penelitian dan perkiraan yang dilakukan untuk mengindentifikasi ras itu dilakukan melalui pengungkapan tinggalan atau artefak yang tersisa dari dalam gua. Tato Muhammad membagi dalam tiga tahapan utama dengan metode Carbon 14 (C14) , pertama di lapisan tanah awal dengan beberapa temuan menunjukkan angka tahun 4.500 tahun yang lalu. Kemudian pada lapisan ke dua ditemukan tinggalan yang lebih tua dari lapisan pertama.


Lapisan-lapisan tahap kedua ini lah yang dieperkirakan dari ras Australomelanesia.  “Itu perkiraan usianya 31.000 tahun sebelum masehi,” jelasnya.


Artinya mengacu data arkeologis itu, orang Sulawesi Selatan dan Papua memiliki leluhur yang sama.


Berangkat dari pikiran kecil itu saya mendoakan dari jauh; semoga saudara-saudara saya di Papua bisa kembali tenang. Kalian adalah cerita besar, kalian menghuni tanah perdaiman. Mencari jalan dan menentukan sikap adalah pilihan kalian. Kebebasan tak boleh direnggut siapa pun. (Eko Rusdianto)

0 comments:

Posting Komentar