Minggu, September 04, 2011

Beranjak Tua

Rumah panggung di dalam kawasan kompleks Koramil, Kecamatan Suli, Kabupaten Luwu  itu masih tetap hangat. Kecil dan bersahaja. Rumah yang tidak berubah, sejak saya mengenalnya 21 tahun lalu. Suasana yang buat saya selalu bahagia, orang-orang yang menghuninya tetap bersahabat. Rumah itu dihuni oleh sebuah keluarga pensiunan tentara, ada anak dan ibu. Ayahnya yang tentara tak sempat kukenal kerena lebih dulu meninggal dunia. 

Di rumah itu, ada panggilan sayang, panggilan anak, panggilan kasih sayang. “Apa kabar sayang. Sehat-sehatji Mama nak,” kata yang punya rumah. Sapaan yang selalu dan sejak dulu akrab ditelinga saya.

Kini, saya Eko Rusdianto. Sudah 27 tahun. Saya berkunjung ke rumah itu sejak saya mengenal dunia pendidikan secara formal di Taman Kanak-kanak (TK) yang tepat di samping rumah. Dan pada Kamis, 1 September 2011 kembali lah saya mengunjungi rumah itu. Ini dalam rangka silaturahmi seusai lebaran.

Baso Amir, adalah nama seorang anak yang menjadi cerita utama untuk menghubungkan saya dengan rumah itu. Baso Amir adalah teman sekolah saya di TK hingga SMU. Baso Amir punya ibu yang baik dan cantik. Kulitnya putih dan bersih. Kadang-kadang Ibu-nya dia, saya panggil juga Ibu, meski lebih sering Tante. Ibu Baso Amir, sangat memukau saya. Saya senang ketika pada Kamis itu mengunjunginya lagi. Dari ruang tamu, saya masuk menerobos hingga dapur.

Saya dan ibu Baso Amir bersalaman. Saya mencium tangannya. Merasakan genggamannya dan yang paling penting adalah menunggu tepukan tangannya atau elusannya di bahu dan punggung saya. Dan Ahaaaa, itu terjadi.

Kami lalu bercanda-canda, bercerita tentang hal-hal kecil. Meski sekejab tapi saya selalu merasakannya dari sejak 21 tahun lalu hingga hari ini. Ibu Baso Amir sedang sibuk menyiapkan beberapa hidangan. Dia beberapa kali hilir mudik dari ruang tengah, lalu ke dapur. Dia sedang menyambut kami, teman anak-anaknya yang berkumpul. Alumni SMU Negeri I Belopa angkatan tahun 2002.

Ini adalah acara kumpul teman-teman SMU. Ada puluhan orang yang hadir, di ruang tamu ada kue kering, ada sirup, ada juga kopi. Ada kepulan asap dari rokok dan ada canda-canda. Saya melihat beberapa teman SMU yang datang, ada yang gayanya sudah berubah dan ada pula yang masih tetap sama.

Musmujiono adalah teman yang paling berjasa dalam hal mengumpulkan teman-teman. Dia dengan sukarela mengirimkan pesan ke handphone teman-teman tanpa minta uang pulsanya diganti. Ada Baso Amir  yang yang sudah sedikit berubah bentuk fisik badan, perutnya mulai sedikit buncit, juga ada Aswardianto yang ikut-ikutan. Ada Ismail yang paling senang kupanggil Opo – kalau tidak salah bahasa resminya adalah Tuna – dia masih tetap besar dan tinggi. Ada lagi Andi Baso, dia yang paling keren cukur rapi dan cepak, karena sudah bekerja sebagai tentara di Raider, bertugas di Makassar.

Ada lagi si Ucok, dia menggunakan stelan kemeja datang malam itu. Gaya bicaranya pelan, hati-hati dan membosankan. Ada Sapri yang selalu bicara porno, Arkam yang melanjutkan kuliahnya di Universitas Diponegoro dan beberapa lainnya.   

Saya juga tak akan melupakan seorang karib saya, namanya Chairil. Dia seperti saudara saya. Keluarganya sudah kuanggap keluarga – dan semoga dia juga demikian. Chairil sapaanya Lili. Berjenggot, tapi sudah ompong. Dia bekerja sebagai petugas Pemadam Kebakaran di Kabupaten Luwu. Profesi yang paling keren menurutku. Hormat saya dua tangan untuk dia.

Dulu, ketika saya masih SMU dengan Lili kami banyak menghabiskan diskusi ringan. Dia adalah pencinta sejati, tak tega menyakiti hati perempuan. Pernah kali waktu, kami berpikir bila kebahagiaan bukannya bersumber dari uang tapi kepuasan hati. Tapi uang juga menentukan kebutuhan. Kami sepaham dengan itu. Maka dari itu, saya memilih mencitai profesi saya sekarang sebagai wartawan.

Lili dan saya bergaji kecil. Sewaktu waktu, saya berniat mentraktirnya melakukan sesuatu, apakah sekedar menikmati Bir atau makan bersama. Tapi tentu harus bersabar, karena saya harus menabung. Ouuuwwww...

Maya dan Rosnawati Lambo.
Selain para laki-laki ada juga perempuan. Nah ini ada Herlisa, sapaannya Iccang. Suaranya kencang dan anak seorang guru (apa hubugnannya), sekarang dia bekerja di Rumah Sakit Umum Daerah Daya Makassar. Ada Maya, perempuan yang cukup menyenangkan. Pandai bergaul, penampilannya tidak berubah sejak di SMU, penuh candaan dan masih senang balap-balap jika mengendarai motor. Ada Risma, teman inilah yang tidak berubah secara penampilan, masih dengan rambut lurus panjang, dan badan yang tetap langsing, berbeda dengan yang lain.

Ada Rosnawati Lambo yang sudah menjadi melankolis. Dia baru putus dengan pacarnya. 

Seorang lainnya bernama Debi. Ini adalah perempuan yang mendapat porsi paling gede. Di SMU dia dan Baso Amir ada sesuatu. Baso mencintai Debi, tapi belum tahu sebailknya. Malam pertemuan di rumah Baso Amir itu, saya mengganggunya. Baso Amir tak bisa berbicara banyak. Wajahnya memerah.

Apakah mereka saling ada rasa suka. Tidak tahu. Tapi bila pertanyaannya begini, “Debi kau sudah punya Pacar?” “Ihhh, Ekoo,” jawabnya.

“Baso kau masih suka Debi,”

Eh malah Baso Amir menghisap rokoknya dalam-dalam. “Baso kan ada pacarnya,” kata Debi. Ouuwww, tapi Debi juga sudah ada calon suami. Artinya Cinta Lama Mereka hanya ada di awan-awan, tak tergapai dan tetap melayang. Kasihan mereka berdua. 

ACARA kumpul itu ternyata tidak berhenti di rumah Baso Amir. Pada Sabtu 3 September 2011, dilanjutkan kembali ke pantai Ponnori di Kecamatan Larompong Selatan. Pantai ini menjadi andalan wisata masyarakat setempat, selain Bone Pute, Tarerre, dan Batu Lotong.

Inilah kali pertama saya mengunjungi Ponnori setelah tamat SMU. Tak ada yang berubah, malah makin miris. Saya masih ingat ketika mengujunginya pada awal tahun 2001, menjejakkan kaki di bawah air laut masih ada karang, tapi sekarang yang ada hanya pasir dan lumpur.

Kami mandi-mandi menghilangkan kepenatan setelah membakar ikan. Menyewa ban dan berenang. Sambil tiduran di ban saya menikmati gelombang air laut. Gelombang yang menenangkan jiwa. Tapi airnya keruh karena pasir. Beberapa potongan rumput laut yang terbawa gelombang sangat kuning.

Saya berenang-renang, mengayuh ban sejauh yang saya bisa. Saya rindu menjejak Padang Lamun, tapi hanya ada lumpur. Lamun tak ada, berarti bencana mendekat. Tak ada ikan, kepiting dan jenis hewan lain yang membutuhkan rumah Lamun. 

Sembari, menatap ke arah pantai, saya memperhatikan rumah-rumah penduduk di pesisir. Saya membayangkan betapa rapuhnya rumah itu. Tentu bila ada ombak yang bergerak cepat, bisa mencapai rumah itu, karena gelombang sudah bergerak bebas. Green Belt (sabuk hijau) dari karang di dasar sudah mati. Terganti pasir.

ACARA temu-temu kangen teman-teman SMU di pantai diramaikan dengan saling menceburkan ke air. Teman-teman saling kejar. Korban pertama adalah saya. Saya digotong seperti hewan yang hendak disembeli lalu dihempaskan ke air.

Lalu perang dimulai, saling kejar-kejar. Yang tidak mau mandi dan basah memilih menghindar dan berlindung di rumah penduduk. Dan tentu mereka tak mendapat cerita lain yang menakjubkan, cerita masa SMU yang selalu banyak diruindukan orang.

SETELAH pantai, esoknya pada 4 September 2011, masih ada acara kapurung – makanan khas masayarakat Luwu, seperti Pepeda di Ambon dan Papua -  di rumah Risma, jalan Sabe I Belopa. Di rumah itu ada lagi cerita, ada lagi kisah. Ada tawa dan ada renungan. Ada teman-teman yang sudah berpisah dengan suaminya, berpisah dengan istrinya. Ada yang menunggu kelahiran anaknya. Ada juga romantisme yang lain.

Misal, Hendra dan Ummi. Dia teman seangkatan kami di SMU. Mereka memilih menikah. Pada malam sebelumnya, menurut cerita Sapri ketika berkunjung ke rumahnya -  saya tak hadir. Beberapa teman-teman bermain game Playstation. Tiba-tiba Hendra dan Ummi malah main kartu, yang kalah akan dipatti (maaf saya tidak tahu bahasa Indonesianya) jarinya. “Romantis sekali mereka,” kata Sapri.

Di rumah Risma itu, ketika Hendra mengantar istrinya kerja kami kaum laki-laki membicarakannya sebagai panutan.

Di rumah Baso Amir dan Ponnori, Imbang tidak ikut. Tapi di rumah Risma, dia ikut hadir. Imbang sekarang lagi menunggu kelahiran anaknya yang pertama. Usia kandungan istrinya sudah enam bulan. Imbang seperti Lili, seperti saudara saya. Dengan Mama saya, mereka tidak memanggil Tante, tapi Mama.

Mama saya, sering membicarakannya. Mama saya ikut menyayangi mereka, seperti saya, Mama selalu menanyakan kabar.

Di SMU, di pergaulan. Saya mendapat teman. Menemukan kebahagian. Menemukan pelajaran hidup. Menemukan sikap. Di pergaulan kami mendiskusikan harapan, membentuk moral. Kepada teman-teman terima kasih. Terima kasih. Teruslah menjadi  diri kalian, teruslah bercerita, teruslah membangun sejarah. (Eko Rusdianto)

0 comments:

Posting Komentar