Jumat, Agustus 19, 2011

Dari Poso ke Masamba

Pada Juni 2011, saya melakukan perjalanan  mengitari selengkangan kaki pulau Sulawesi. Mengunjungi Kabupaten Poso Sulawesi Tengah. Berangkat dari Makassar Sulawesi Selatan, transit di Palu Sulawesi Tengah, lalu Poso juga Sulawesi Tengah, dan kemudian ke Masamba Sulawesi Selatan, lalu kembali ke Makassar.

Perjalanan dari Makassar menuju kota Palu saya tempuh dengan pesawat udara, sekitar 1,5 jam. Lapangan udara di kota Palu cukup kecil. Ketika turun dari pesawat, di lantai dua ada semacam teras yang dipenuhi puluhan orang. Sambil teriak-teriak memanggil nama seseorang, mereka melambai-lambaikan tangan.
Ruang tunggu bandara Palu cukup kecil. Halaman depannya juga kecil. Seperti serambi rumah saja. Saya melihat beberapa orang meneguk kopi di kedai bandara. Di Palu sulit mendapatkan kopi khas, saya hanya dapat kopi cap Kapal Api.

Saya dijemput seorang kawan, namanya Ado. Dia adalah kawan saya semasa kecil di Belopa Sulawesi Selatan. Dia ke Palu mengambil kuliah komputer dan ikut dengan kakaknya yang bekerja di Palu. Dia menjemputku dengan kendaraan roda dua. Ketika kami meninggalkan bandara, hujan gerimis turun mengantar kami.

Ado bilang, kalau saya agak beruntung karena dapat hujan. Kalau tidak, makanya inilah kota yang sangat panas. Saya tentu mafhum karena memang Palu dilalui garis khatulistiwa. “Bisa sampai buka baju,” kata Ado. “Saking panasnya toh,” lanjutnya.

Ketika sampai di rumah kakak Ado, kami istirihat dan ngobrol sejenak. Kami meneguk air panas, bukan kopi tapi teh. Ini agak buat saya heran, Ado adalah pecandu kopi semasa di kampung kami. “Memang ada kopi di Palu tapi jelek sekali. Terlalu berampas dan sangat tidak enak. Baunya juga tidak sedap,” katanya.

Saya nginap semalam di Palu. Karena pagi baru mendapat mobil menuju Poso. Pada malam itu saya mengunjugi beberapa teman, lalu berkeliling kota. Tak ada yang menarik mata di Palu. Hanya ada taman kecil di garis pantai dan kedai yang berjejer.

DI sebuah jalan beberapa mobil ukuran mini bus berjejer. Diantara kendaraan itu saya memiliki tiket penumpang. Saya duduk dikrusi paling belakang. Sekitar pukul 09.00 saya meninggalkan Palu menuju Poso.

Wuih, jalan dari Palu ke Poso cukup menarik. Pemandangan sepanjang jalan cukup menyejukkan. Udara yang masuk melalui jendela mobil sangat sejuk. Sisi jalan ada jurang dan tebing. Jalannya meliuk-liuk seperti ular.

Saya tiba di Poso pada sore hari. Di jemput seorang kresponden MNC. Awal pertama melihat Poso saya cukup tertegun. Kota ini cukup cantik dan berpenduduk yang ramah. Jalan-jalan kotanya kecil. Saya mengunjungi Poso dalam tugas peliuputan dari Majalah GATRA. Menemui beberapa orang dan bercerita dengannya.

Poso menjadi buah bibir lagi karena tim Densus 88 turun ke sana untuk mencari pelaku penembakan anggota kepolisian di Palu. Para pelaku berasal dari Poso. Tapi kemudian, setelah pelaku itu tertangkap, anggota Densusu 88 masih terus memburu kawanan para pelaku. Mereka menganggap bila pembunuhan itu melibatkan jaringan teroris. Dan mereka menduga Poso adalah markas salah satu jaringan keras teroris untuk melakukan pelatihan.

Tapi, ternyata pandangan itu tidak dibenarkan oleh beberapa warga. Beberapa orang yang saya temui mengatakan, bila Poso selalu diobok-obok. “Kami sebenarnya tak peduli dengan pelaku penembakan itu. tangkap saja. Tapi sudahlah jangan ganggu kami lagi, kami mau hidup tenang,” kata salah seorang warga.

Tahun, 1998 di kota ini memang terjadi konflik saudara atas nama agama. Islam dan Nasrani bertengkar dan saling bantai. Tapi itu dulu dan masa lalu. Mereka ingin meninggalkan semuanya. Tak ada gunanya.

Saya heran saat bertemu Rafiq Syamsudin, nada ceritanya cukup megejutkan. “Di sini tak ada lagi konflik itu. Yang ada semua orang ingin hidup dan mencari nafkah sendiri,” katanya.

Rafiq pada tahun 1998 adalah seorang koordinator perjuangan dari baris Islam. Mengomnadoi beberapa pasukan dan mahir merakit bom. Tapi sekarang dia sudah tak melakukannya, dia mengelola sebuah radio. “Bayangkan, semua orang berlomba-lomba buat proposal pemulihan atas nama konflik. Semua atas nama konflik. Saya khawatir isu teroris ini akan dijadikan lahan pencarian uang lagi,” lanjutnya.

Poso menurutku adalah kota yang tenang. Pada malam hari saya berkunjung ke beberapa tempat, meskipun agak sunyi tapi saya merasakan seidkitpun ketegangan. Di pinggir pantai Poso saya dan beberapa teman duduk di salah satu kedai, menikmati angin malam, meneguk kopi, dan mendengarkan kawan yang lain bernyanyi. Kedai, sekaligus tempat karaoke yang murah meriah.

Orang-orang bebas bercerita. Saya bertemu dengan seorang Nasrani. Dia datangnya dengan pacarnya yang muslim. Di kedai lain, saya juga melihat pembauran. “Bisa dilihat kan tak ada yang salah. Semua aman-aman saja. Hanya orang lain yang membuat persepsi tentang Poso dan buat semua orang ketakutan datang ke sini,” kata seorang kawan dari SCTV.

Saya tinggal di Poso selama empat hari. Saya bertemu beberapa karaktek dan memperhatikan suasana kota yang nyaman. Poso, memang selalu bergejolak tapi tak tahu siapa yang membuat.

Saya meninggalkan Poso pada pagi hari bertolak ke kota Masamba, Kabupaten Luwu Utara Sulawesi Selatan. Pagi-pagi bus besar yang membawa saya melintasi jalan yang kecil dan meliuk. Bila bertemu kendaraan dari depan maka salah satu kendaraan harus memperlambat kecepatannya.

Selama perjalanan bus yang saya tumpangi dua kali beristirahat dan menyiram bannya. Saat air menyentuh ban kendaraan, asap yang keluar mengepul. Menurut kernetnya, itu karena panasnya putaran roda.

Perjalanan menuju Masamba ditempuh sekitar 12 jam. Dari Poso sekitar pukul 08.00 dan tiba di Masamba sekitar pukul 20.00. Inilah waktu yang sangat melelahkan. Selama perjalanan saya tak mampu memejamkan mata.

Saya tegang melihat jalan yang meliuk dan sangat kecil. Memperhatikan jurang di sisi kanan kendaraan seperti akan buat jantung berhenti berdegup. Sebelum melewati kawasan perbatasan antara Sulawesi Tengah dan Selatan ada tanah yang longsor. Sisi jalan runtuh. Kendaraan yang melintas dijejer dan melaluinya dengan hati-hati. Satu-satu. Di tempat itu kendaraan tertahan cukup lama.

OH YA, saya ingin bercerita tentang pikiran-pikiran saya di atas bus. Tentang lamunan dan ketegangan. Saya tak tahu bagaimana cara membunuh waktu di ruangan yang hanya visa untuk duduk. Yang paling banter ada menaikkan kedua kaki ke kursi. Lalu berusaha memejamkan mata dan menegakkan kepala. Atau memiringkannya ke kiri atau ke kanan.

Gaya lainnya, ya menempelkan kepala di belakang kursi bagian depan. Mau bediri tentu tak bisa, meluruskan kaki juga tak bisa. Saya iseng-iseng memerhatikan ruas jalan. Gunung-gunung dan lembah. Lalu memilih-lilih salah satu lokasi dan membangun rumah.

Saya mulai melihat diri saya di lokasi itu. tapi kemudian sirna begitu saja, karena kendaraan sudah melaju dan meninggalkan ruangan imajinasi saya. Lalu mulai lah bacaan satu persatu muncul di kepala. Ada cerita petualangan Karl May, ada cerita pembenuhan In Cold Blood yang ditulis Truman Capote atau bahkan cerita silat Ko Ping Ho. Beh, berkeliaran begitu saja.

Saya membayangkan semua setting, alur, dan kejadian bacaan-bacaan itu. Memperhatikan rumah-rumah di sisi jalan dan membuatnya sendiri seakan nyata. Atau bahkan, mengandaikan diri seorang penembak jitu.

Pada tahap menjadi penembak jitu itulah yang paling lama. Saya seakan memiliki kemampuan yang sangat luar biasa. Menembak dari balik kaca jendela mobil. Mengarahkan pada siapun yang lewat dan mebayangkan orang-orang itu menhempas.

Lalu tiba-tiba saya kecapaian sendiri. Itu tulang ekor sudah mulai keram. Ruang imajinasi di kepala sirna saja, adanya bagaimana mempertahankan keram di pantat. Inilah hal yang paling sulit saat melakukan perjalanan, bukan dengan kendaraan pribadi.

Dan mulailah nampak pohon-pohon sawit disepanjang jalan. Mangkutana, Kecamatan Luwu Timur sudah dijejak, artinya dua jam lagi tiba di Masamba. Menghibur diri dengan tenang dan memikirkan kasur empuk.

Sekarang bandar udara Andi Djemma sudah nampak. Saya berhenti tepat di ujung pagar bandara itu. Ada sebuah wisma. Mengambil kamar di lantai dua. Memeperhatikan kamar mandi, handuk yang kusut dan bau. Tak ada sabun mandi dan pasta gigi. Kasur sudah di depan mata, empuk, tapi harus melupakan sejenak. Perut sudah keroncongan, tak makanan di wisma malam itu tidak tersedia. “Makanan ada pak tapi harus keluar, ada di dekat-dekat sini kalau mau beli makanan,” kata petugas reseptionis wisma seraya menunjuk.

Ya sudah, kuputuskan untuk berjalan keluar. Sekitar 50 meter ada penjual makanan. Memesan ikan goreng, cukup sudah mengisi perut, lalu beli sabun mandi. Tak pikir lama, di wisma saya menghempaskan badan setelah membersihkan badan seperlunya. Mengangkat selimut dan pulas. Seminggu sudah perjalanan itu saya lalui bertemu orang dan melihat sekliling. (Eko Rusdianto – baca juga http://ekorusdianto.blogspot.com/2011/06/poso-gejolak-tanpa-henti.html)

0 comments:

Posting Komentar