Senin, April 04, 2011

Ini adalah Kehormatan

Puang Saidi yakin saat itu akan tiba. Pada sebuah siang, Senin 5 September 2001 di kampung kecil Kelurahan Bonto Te’ne, Kecamatan Sigeri, Kabupaten Pangkajene Kepulauan, Sulawesi Sealatan, dia menjadi perhatian banyak orang. Prosesi penobatan segera dilakukan, menjadi seorang guru, sandro, pemimpin, Puang Towa atau Ammatoa. Puang Saidi resmi mengepalai semua bissu dan disaksikan: dewan adat, pejabat pemerintahan hingga masyarakat biasa.

Ketika itu, pakaian kebesaran warna kuning, sarung dan pentup kepala sudah lengkap. Dia begitu gagah dan tampan. Saidi mengenang semuanya dengan cermat. “Ramai sekali nak, ramai sekali,” katanya. Di teras rumah Arajange tempat benda pusaka kerajaan tersimpan rapi. Dia duduk di kursi kayu yang kaku. Mengingat semuanya dengan takzim. Segelas kopi dengan gelas bergagang tinggi diseruput, di bagian lain tersaji penganan kue dari bahan gula merah.

Saidi membuka tiga album foto berukuran besar, diletakkan di lantai dipan yang hangat. Tak ada kenangan gambar yang menghubungkannya dengan upacara pelantikan itu. Semua hanya ada dalam hatinya. Dia lalu menuju ke sudut lain di teras itu, menunjuk sebuah foto berbingkai sederhana yang tergantung. Itu gambar neneknya, Sandro (dukun) Saeke, pemimpin bissu sebelum dia. “Seperti ini pakaiannya,” katanya.



Saidi lahir pada 1950-an. Tak tahu waktu tepatnya, tanggal dan bulan, apalagi harinya. Cara Saidi memulai pembicaraan begitu hati-hati, Bahasa Indonesianya tidak terlalu baik. Terkadang dalam sebuah pembicaraan dia akan memiringkan kepalanya dan mengernyitkan dahi bila sesuatu mulai begitu ribet dicernanya. Dan bahasa Bugis akan meluncur dengan cepat.


Dia seorang yang ramping dan memiliki beberapa helai bulu yang tumbuh di dagunya dengan panjang. Rambutnya juga panjang mengkilap tapi selalu digulung ke atas hingga menyelinap masuk ke kopiah. Dia lahir di Pangkajene Kepulauan, tapi berdarah Bone (Kabupaten Bone). Dia adalah pelayan raja, penasehat sekaligus guru spiritual kerajaan. Posisi bissu pada masa lalu adalah kedudukan terhormat. Bissu dipercaya dapat melakukan dialog dengan dewa yang berada di langit, karena menggunakan bahasa To Rilangi atau orang langit. Bahasa ini dipercaya juga digunakan oleh para dewa dan hanya diketahui oleh para bissu yang diberkati. Tak hanya itu jenis kelamin bissu pun berada diantara laki-laki dan perempuan, tapi bukan waria. Dan menurut keyakinan itu, tuhan pun bukan laki-laki dan perempuan. “Bissumi itu nak (seperti itulah bissu),” katanya.

Masyarkat Bugis dan Makassar mengenal lima jenis gender dalam kehidupan mereka. Pertama adalah urane (laki-laki), kemudian calabai (laki-laki yang keperempuanan), makunrai (perempuan), calalai (perempuan yang kelaki-lakian), dan terakhir bissu. Pada filosofinya laki-laki ditunjukan pada jempol, calabai untuk telunjuk, perempuan untuk kelingking, calalai untuk jari manis dan bissu untuk jari tengah. Jadi bissu merupakan derajat yang paling tinggi dan berhak menjadi pemegang atau penghubung komunikasi dengan tuhannya.



Selama jadi Bissu tutur kata dan laku kehidupan harus benar-benar tertata. Saidi menggunakan sarung, baju berkancing yang berkerah ketika duduk mengurai ingatannya di teras rumah itu. Dahulu rumah itu adalah kantor sebuah lembaga kesehatan, dengan sebuah tangga yang lurus menghadap badan jalan. Atapnya cukup sederhana, biasanya untuk rumah kerajaan atau rumah para bangsawan Bugis dan Makassar selalu menggunakan tiga susun atap bagian depan. Tapi itu harus dilakukan, tak ada pilihan, tak ada jalan lain, sudah tak ada lagi Arajang’e, tak ada kerajaan, apalagi rajanya. Dan budaya tak boleh dibiarkan berlalu begitu saja, begitu pikir Saidi.


Tiang salah satu rumah itu dihiasai tanduk binatang, ada ikatan padi, dan beberapa daun sirih. Diikat dengan tidak beraturan. Kini keberadaan Bissu sebagai penasehat tanpa raja mulai dilupakan masyarakat, hanya segelintir saja yang menggunakan jasa Bissu saat keperluan tertentu. “Kemarin, saya baru dari Surabaya. Ada orang Bugis-Makassar yang mau menikah dan akan pakai adat kita itu. Bukan bangsawan tapi punya uang dan ingin melakukannya,” kata Saidi. “Jadi saya bikin semua keperluannya nak. Disini nanti kujahitkan. Nanti saya akan ke sana lagi dan mengatur semuanya,” lanjutnya.

Tak sampai di hal sekecil itu, beberapa ritual sakral pun dapat dilakukan tanpa harus menunggu kesempatan dan waktu yang telah ditentukan atau sesuai petunjuk tuhan. Para bissu bisa saja mengkomersialisasikannya dengan sebuah kesepakatan. Misalnya, media akan meliput sesuatu upacara, maka itu bisa diadakan meskipun hanya untuk kebutuhan gambar. “Kalau mau dilakukan maka bisa saja tapi harus membiayai kegiatan ritual itu,” kata Saidi seraya menyebut beberapa media yang telah melakukan itu, baik nasional maupun internasional.


TAHUN 1950-an di Indonesia terjadi pergolakan besar. Saidi sudah mengingat semuanya. Dia adalah generasi kelima dari Puang Towa dan memiliki garis turunan yang sama dari buyutnya hingga neneknya sendiri.

Di Sulawesi Selatan pergolakan itu pun terjadi dan merupakan pergolakan terpanjang dalam sejarah. Adalah Kahar Muzakkar yang tergabung dalam Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) untuk membentuk dan mencita-citakan Negara Islam Indonesia (NII) melakukan perlawanan selama 15 tahun.



Bissu dianggap sebuah penyelewangan dan pembangkangan dalam ajaran Islam lalu dianggap murtad karena dinilai menyembah berhala dan menyekutukan tuhan. Laskar yang menamakan kelompoknya Pemuda Ansor memulai pengejaran dan membunuh beberapa Bissu. “Dubunuhki nak. Digerek (dipotong) orang,” kata Saidi.


Setelah masa pergolakan DI/TII berakhir dan pemerintahan berganti dari orde lama ke orde baru para bissu kembali tak tenang. Saat itu pergerakan kembali digerakkan guna membumihanguskan Partai Komunis Indonesia (PKI). Bissu yang dianggap meyakini ajaran dewa dan animisme pun dianggap tak bertuhan seperti komunis. Namanya operasi toba (tobat) untuk mengembalikan kemurnian ajaran islam. Para bissu yang kedapatan akan diminta untuk bertobat dan kembali menjadi lak-laki dan harus mengenakan pakaian laki-laki dalam pergaulan sehari-hari.


Dan saat itu ritual atau kegiatan bissu didiamkan. Tak ada aktifitas sama sekali. Rembesan masalah komunis itu bertahan hingga tahun 1990-an. Bissu masih dianggap sesat dan harus ditiadakan dan pengikutnya terus merosot hingga tak mencapai puluhan orang. Padahal dalam kepercayaan Bissu, untuk melaksanakan ritual harus lengkap 40 orang.


Dari 40 bissu itupula lah terdapat seorang bissu perempuan. Bissu perempuan yang paling tinggi derajatnya karena merupakan turunan orang berdarah bangasawan atau Bissu Pa’tudang. Di masa lalu, dalam epik I Lagaligo, We Tenriabeng saudara Sawerigading adalah seorang bissu perempuan yang langsung diturunkan dari langit.


Menjelang reformasi tahun 1997, sebuah lembaga masyarakat Latar Nusa melihat keterdesakan komunitas Bissu yang terus merosot. Gelombang reformasi membawa angin segar, semua masyarakat dan warga dibebaskan untuk berserikat. “Dulu saya jalan saja, orang-orang teriak dan mengejek-ejek. Tapi saya diam saja,” kata Saidi. “Orang-orang bilang kalau ketemu bissu sial 40 hari.”


Dimasa kelam itu para bissu bertahan hidup dengan keterampilan seadanya. Misalnya membuka warung makan dan yang paling banyak menjadi penata rias pengantin. Pekerjaan melayani raja sudah tak ada lagi, penghasilan pun hilang.


Sebelumnya, kata Saidi, Puang Towa diberikan hak atas 1,5 ha lahan sawah (galung arajang) sebagai hadiah atau mata pencarian untuk kelangsungan hidup dari kerajaan. Tapi sekarang semua tak ada lagi. Jadi tugas utama Bissu sekarang hanya merawat benda pusaka kerajaan yang ada di rumah Arajang. Sebuah bajak sawah dari kayu yang dipercaya turun dari langit. Bajak itu diperlakukan sangat istimewa, di kelambui dengan kain merah dan dibungkus rapat dengan kain merah pula, dengan pengikat rotan.


Ketika seseorang akan melihatnya maka akan dilakukan doa singkat dari sang Bissu lalu membakar lilin. Tempat bajak itu berada tepat di samping kamar istirahat Saidi.


Antropolog Universitas Negeri Makassar Halilintar Lathief, mengatakan keberadaan bissu sekarang seperti sebuah oase yang kering. Ada tapi beberapa sudah keluar dari pakem. Menurutnya, lemahnya posisi bissu ini dipengaruhi oleh sikap pemerintah setempat yang memasukkannya dalam program pariwisata dengan konotasi uang.


Menurut Halilintar, pada sebuah acara penjemputan tamu negara atau hanya kunjungan pejabat baik hanya sekedar jalan-jalan maka dengan mudah dilaksanakan ritual yang dilakukan bissu. Padahal, kata Halilintar, bissu adalah laku kehidupan bukan sekedar tontonan. “Saya harap bukan budaya yang mengikuti keinginan pariwisata, tapi pariwisata yang seharusnya mengikuti kegiatan kebudayaan itu,” katanya.


SAIDI tahu keadaan dirinya yang berbeda dengan teman laki-lakinya. Dia tak nyaman bermain dengan mereka dan selalu ingin bertengkar. Dimasa permainan kecil berlangsung Saidi selalu menjadi penata rias untuk teman-temannya yang akan melakukan permainan keluarga, ada ayah, ibu dan ada yang berperan sebagai anak.


Keluarga Saidi begitu keras mendidiknya. Belajar mengaji dan bekerja layaknya laki-laki. Dia memiliki seorang adik kandung dan tujuh saudara tiri dan hanya Saidi yang waria. Dalam keluarga itu sikap dan sifat semacam Saidi bukanlah hal baru. Adalah neneknya yang menjadi bissu. ”Saya anggap neneku lah yang bisa mengerti saya,” katanya.


Menginjak usia kira-kira 9 tahun, Saidi mulai mengikuti beberapa kegiatan bissu apalagi jika neneknya telibat. “Saya sering dimarahi tapi selalu ikut. Selalu saya dipukul tapi saya tidak menyerah,” ujarnya. “Jadi saya sudah mengerti bissu dan menjadi bissu sejak kecil.”


Sekarang banyak itu waria yang ingin sekali jadi bissu karena hanya ingin dapat uang. Itu banyak sekali, bahkan ada yang melantik dirinya sendiri. Mabusungi (durhaka mereka),” lanjutnya.


Saat ini jumlah bissu menurut klaim Saidi sudah mencapai 40 orang dan tersebar di beberapa wilayah. Tapi hanya ada satu Puang Towa yang masih hidup, yakni dirinya dari Sigeri. Untuk Luwu, Wajo, Soppeng dan Bone sudah meninggal. Sementara untuk melakukan pelantikan baru dibutuhkan waktu dan kelengkapan bissu lainnya, dan semuanya tak ada lagi. Raja sudah tak ada juga.


Bila waria biasa suatu ketika bisa menikah, maka berbeda dengan bissu tak ada kata menikah. Tak boleh ada unsur duniawi yang ada dalam dirinya lagi ketika sudah dilantik menjadi bissu. Tapi, dalam buku Empat Menguak Tradisi, Puang Saidi diceritakan menjalin hubungan dengan beberapa pasangan (toboto). Bahkan dijelaskan sudah ada lima pasangan Saidi yang ada. Tiga diantaranya sudah dinikahkan. Syarat kehidupan dengan pasangan laki-laki itu tak boleh lebih dari tiga tahun. “Tidak boleh hidup bersama dengan seorang lelaki berlama-lama, sebab dia kan punya hak untuk berketurunan. Jika dia tidak dikawinkan setelah tiga tahun hidup bersama seorang bissu, berdosalah bissu itu,” kata Saidi dalam buku itu.


Tapi Saidi yakin, bissu tak akan hilang di bumi ini. Dari awalnya 40 bissu yang ada maka itu akan kembali lagi seperti semula. Dan semua kerajaan akan kembali terisi. “Kalau kampung itu ada lima calabai maka satu diantaranya pasti adalah bissu,” katanya.


Dan Saidi bangga menjadi seorang bissu. Menurutnya hal itu adalah takdir dan kehendak dari tuhan. Dan menjadi sebuah kehormatan.


Sementara Halilintar melihat keberadaan bissu mulai tergerus oleh samannya sendiri. Kebanyakan, kata dia, belum memahami benar apa yang dinamakan dengan bissu. Bahkan menjadi bissu begitu mudah. Tak ada ritual khusus, tak ada pembelajaran. “Ini membuat derajat bissu semakin menurun,” katanya. (Eko Rusdianto)



Catatan: Edisi cetak tulisan ini juga dimuat di Majalah GATRA edisi 30 Maret 2011 dengan beberapa perubahan.

0 comments:

Posting Komentar