Minggu, April 24, 2011

Dari B.F Matthes hingga Robert Wilson

Duduk di deret kursi paling belakang saat pementasan I La Galigo memang sangat buat susah. Orang-orang bercerita, saling telepon, menyalakan blits kamera dan beberapa berdiri. Tambah lagi suara dari kafe Kampoeng Popsa yang tepat di depan benteng Rotterdam tempat pagelaran cukup ribut, suara musiknya terdengar hingga ke kursi penonton. Ada lagi sirene ambulance. Wuihhh...

Tapi tak ada gunanya berlama-lama dengan keadaan demikian. Itu akan buat energi positif semakin bertambah. Pada 24 April 2011, di Kampung Buku jalan Abdullah Daeng Sirua saya sempatkan membaca buku I La Galigo yang terbit tahun 1995, ditranskripsi dan diterjemahkan oleh Muhammad Salim dan Fachruddin Ambo Enre dengan bantuan Nurhayati Rahman.

Naskah buku disusun oleh Arung Pancana Toa menurut naskah NBG 188. Cerita dalam pengantar oleh Sirtjo Koolhof sangat mengasikkan. Membacanya baris demi baris mengingatkan saya akan cerita para orang tua saya di kampung. Tapi saya paling menyenangi bagian saat para dewa bersepakat mengisi dunia tengah (bumi).

Ceritanya membuat terharu. Patotoqe sang penentu nasib mengutus tiga abdinya ke dunia tengah (Kawaq, Alelino). Tiga hari kemudian seorang abdi itu, Rukelleng Mpoba kembali dan menyampaikan laporan perjalanannya. Dia mengusulkan seorang anak Patotoqe untuk mengisi dunia tengah yang masih kosong itu.

Permintaan itu kemudian disetujui. Patotoqe mengutus anak sulungnya La Togeq Langiq atau Batara Guru dan kelak menjadi manusia pertama di dunia. Lalu pasangannya adalah anak dari Ratu Dunia Bawah (Peretiwi) We Nyiliq Timoq. Pernikahan di gelar di tengah.     

Namun sebelumnya ketika Batara Guru meninggalkan dunia atas dengan kendaraan batang bambu. Dalam perjalanan dia diperintahkan membuat gunung hinggga isi dunia tengah. Dan ketika buaian dari bambu itu kembali ke dunia atas dengan isi kosong maka serentak lah para penghuninya sangat terharu.

Ini lah drama yang paling membuatku terbang hingga ke langit. Membayangkan cerita dan epos sebesar I La Galigo diceritakan oleh masyarakat-masyarakat masa lalu. Membayangkan kemampuan mereka, membayangkan perdaban mereka, hingga suasana masa itu.

Sementara, Robert Wilson membuat visualisasinya dengan bentuk sederhana. Mudah dipahami dan sangat menyenangkan. Ini adalah pekerjaan berat. Naskah I La Galigo ini diperkirakan lebih panjang satu setengah kali panjang epos Hindia Mahabarata. Jumlah halaman I La Galigo diperkirakan mencapai 6000. Setiap halaman folio mengandung sekitar 50 baris jumlah suku kata antara 10 dan 15. Berarti seluruh cerita I La Galigo itu diperkirakan sekitar 300.000 baris panjangnya dan naskah Mahabarata hanya sekitar 160.000 dan 200.000 baris.

Menurut informasi yang ada dalam buku I La Galigo yang disusun oleh Arung Pancana Toa bila 12 naskah yang disusunnya kemungkinan masih bisa bertambah karena masih ada yang tersebar dan belum dituliskan di masyarakat. Untuk menuliskan hal tersebut, Arung Pancana Toa kerjsama dengan Benjamin Frederik Matthes pada 1852. Dan ini murni keinginan Matthes untuk membukukannya terkait dengan urusan pemerintahan Belanda masa itu.

Adalah tahun 1847 menurut pemerintah Belanda Al Kitab perlu diterjemahkan kedalam bahasa Bugis. Dan Matthes lah yang terpilih sebagai utusan ke Sulawesi. Ketika itu usianya sekitar 30 tahun dengan gelar Doktor. Matthes tiba di Sulawesi pada 1848. Dan disinilah cerita kebesaran I La Galigo memulai perjalanannya.

DAN benar saja. Naskah I La Galigo begitu menjadi penting dan ditempatkan diposisi tingkat tinggi untuk naskah dunia, bukan hanya nusantara. Kini I La Galigo setara dengan Mahabarata.

Bila Matthes adalah orang berjasa pertama untuk I La Galigo, maka pada masa modern ini adalah Robert Wilson yang berperan. Pada 2003 dia membawa pertunjukan I La Galigo keliling dunia. Pertunjukan itu berdurasi sekitar empat jam tanpa jedah.

Wilson membuat set pertunjukan dengan begitu sederhana. Menggunakan bahasa non verbal dengan tafsir yang mengasikkan. Setelah perjalanan  panjang yang dimulai pada 2003, I La Galigo kembali ke Sulawesi dan dipentaskan pada 23 dan 24 April 2011 di Benteng Rotterdam.

Panggung melompong tak ada isi. Hanya pada bagian belakang sedikit ditinggikan. Set permanen yang mengisi panggung tak ada sama sekali. Ada tiga sayap panggung yang berada di masing-masing sisi untuk mengatur keluar masuk pemain.Wilson lebih mengandalkan tata cahaya. Dia membuatnya dengan begitu menawan. Perubahan cahaya selalu mengejutkan.

Saya menghitung ketika pertunjukan usai di hari pertama ada 42 pemain.

0 comments:

Posting Komentar