Kamis, Mei 20, 2010

Bagaimana, HAM untuk Teroris

Rabu, 12 Mei suasana di jalan Letjen Soetoyo, Kelurahan Cawang, Jakarta Timur sekitar pukul 12.00 cukup lengang. Tukang ojek dan para penjaja makanan lagi sibuk mengisi perut. Tiga orang pria mengenakan baju kaos putih lalu lalang di depan sebuah warung kopi. Seorang dari mereka membawa bungkusan dari karung dan sebuah tas pinggang kecil.

Selepas suara azan Dhuhur, seorang yang mengenakan tas pinggang hendak naik ke sebuah motor bebek. Sebelum mengangkat bawaan karungnya, dua orang pria mendekati dan langsung mencekik leher dengan lengan. Sebuah pistol menancap ke perut dan seketika meledak. Pria itu tumbang. Dua yang lain berlari, tapi hanya sekitar 50-an meter mereka bebas bergerak.

Seorang ibu pemilik warung kopi yang tak ingin disebutkan namanya, mengatakan kejadian itu sangat cepat. Awalnya dia berpikir, dua pria yang membawa pistol adalah teman ketiga orang yang lalu lalang. Dan pistol itu hanya mainan. “Tapi waktu ditembakan dan meledak saya langsung syok. Sungguh,” katanya.

“Saya lihat waktu sudah jatuh ketembak, lehernya diinjak. Sampai orang itu susah bernafas,” lanjutnya.

Sementara pengendara motor yang hendak membawa pria tak dikenal itu duduk terkulai di depan warung kopi. Dia memegangi kepalanya dan terdiam lama. “Lama sekali dia duduk tak ada yang ajakin bicara, semua orang kaget. Mungkin sekitar setengah jam, lalu dia pergi lagi dengan motornya,” kata Ibu itu.

Ibu itu mengingat rupa ketiga orang yang sempat duduk di depan warungnya. Dia menawari bus pemberangkatan ke Medan. Tapi beberapa pria itu hanya tersenyum. “Mereka ramah. Wajahnya bersih dan putih. Saya tidak sangka kalau mereka orang jahat. Tapi tahu apa kita,” katanya, lagi.

Di lokasi penembakan ketiga orang itu, memang merupakan tempat pengambilan tiket untuk jurusan pulau Sumatera. Hanya berjarak 100 meter ada tiga buah loket atau perwakilan bus untuk tujuan Sumatera. Salah satunya adalah perwakilan tiket bus Kurnia.

Adalah Bayu, salah seorang pegawai di perwakilan bus Kurnia mengatakan, sebelum kejadian penembakan dia sempat melihat dua orang korban. Seorang dari mereka menggunakan topi, tinggi sekitar 160 sentimeter. “Mereka terlihat sangat biasa dan tidak membahayakan,” katanya.

Sementara saksi mata lainnya, Rudi pemilik jasa perwakilan bus Kurnia mengatakan penembakan itu dilakukan dalam jarak dekat. Penembakan yang pertama dilakukan di bagian perut di depan warung kopi, yang kedua di bagian dada tepat di samping perwakilan bus Kurnia, dan korban yang ketiga di depan perwakilan bus ALS. “Saya mendengar dua kali tembakan,” katanya.

Belakangan penembakan yang di lakukan di Cawang diketahui sebagai upaya penggerebekan dan pemusnahan jaringan teroris oleh anggota Datasemen Khusus 88 (Densus 88). Ketiga korban tersebut telah dibuntuti sejak lama. Dan dari tiga korban diantaranya adalah Ahmad Maulana jaringan teroris dari Aceh yang sering mengadakan pelatihan militer.

Dalam jaringan teroris Ahmad Maulana di kelompokkan dalam barisan thinker atau pemikir. Dia setara dengan Hambali dan Abu Dujana. “Memang ketika Hambali masih ada Maulana belum tahu apa-apa tapi sekarang dia sudah menjadi senior juga, dia belajar,” kata pengamat teroris Mardigu Wowiek Prasantyo.

Mardigu membagi tingkatan teroris dalam tiga kelas. Pertama adalah thinker atau pemikir. Orang-orang ini, yang menurut dia, adalah pembuat strategi dan perakit bom. Mereka bukan pelaksana tapi pengatur.

Tingkat kedua adalah operation atau penggerak. Tugas orang-orang ini memastikan tempat yang dituju sesuai dengan target atau boleh juga penentu target operasi. Ketiga adalah tingkat paling dasar adalah support atau pendukung. Biasanya dalam jajaran pendukung adalah para pengantin atau mereka yang baru bergabung dan akan melakukan eksekusi. Kalau bom maka mereka yang akan mati. “Ya seperti pengantin lah, mereka hanya direkrut sekitar tiga bulan dan masih menggebu,” ujar Mardigu.

Di Indonesia, kata Mardigu jaringan teroris yang memiliki kapasitas thinker mencapai 400 orang. Mereka tersebar ke berbagai pelosok Indonesia. Sementara untuk para pendukung mencapai 20.000 orang. “Tidak banyak, tapi sulit membasminya,” lanjut dia.

Menurut dia, tertangkapnya Maulana dalam penggerebakan itu adalah satu hal yang menggembirakan. Dia mengibaratkan sebagai kerja keras pantang menyerah dan keberhasilan intelejen dalam menelusuri jaringan teroris. Namun menelisik dari beberapa penggerebakan teroris yang dilakukan oleh pihak kepolisian, otak teroris yang selalu menjadi target selalu berakhir dengan meninggal. “Memang lebih baik kalau mereka ditangkap hidup-hidup,” jelas Mardigu.

Tapi yang perlu diketahui, kata Mardigu, pembunuhan dan penembakan langsung yang dilakukan pada pelaku teroris sudah tepat. Tak ada yang salah, prosedur memang demikian.

Selama ini, salah satu hal paling sulit adalah membuat semua masyarakat menjadikan teroris itu sebagai musuh bersama. Pejuang Hak Asasi Manusia (HAM) dan beberapa orang yang bergerak atas nama agama justru menghalangi penumpasan teroris. “Saya kira, untuk teroris karena dia adalah ekstra ordinary crime maka HAM itu memang seakan-akan tidak berlaku, tapi untuk kriminal biasa HAM berlaku,” ujarnya.

“Kalau maling ayam atau pencuri jemuran langsung ditembak, itu yang tidak tepat. Tidak sesuai dengan kejahatan yang dilakukan. Tapi kalau teroris ya wajar, ya mereka juga tidak berpikir HAM ketika nge-bom,” lanjutnya.

Dua korban yang tewas di Cawang awalnya dindikasi adalah Maulana dan Saptono. Bila benar dua orang ini yang meninggal, maka Mardigu mengatakan kabar gembira. Maulana adalah anggota garis keras dari NII dia pernah melakukan percobaan pembunuhan
Mantan Menteri Pertahanan Kabinet Gotong Royong (2001-2004)Matori Abdul Djalil (alm) pada tahun 2003.

Maulana juga pernah menjadi incaran Polda Kalimantan terkait sual beli senjata. Kemahiran Maulana diperolehnya karena pernah bergabung dengan kamp latihan militer di Mindanao, Filipina.

Sementara Saptono adalah salah seorang pemegang saham dalam usaha ekspedisi Jazirah yang turun dari Dulmatin. Menurut Mardigu, ekspedisi Jazirah merupakan sebuah usaha yang ikut membantu pendanaan terorisme di Indonesia.

Dia menjelaskan, usaha jasa ekspedisi sangat memungkinkan untuk mencari jalan dan menyelundupkan berbagai barang. Indonesia, kata dia, adalah wilayah lautan yang sangat terbuka dan masih sangat sulit untuk mengawasi ratusan ribu titik masuk. “Coba lihat di wilayah perbatasan deh,” katanya.

Pejara untuk teroris

Salah satu hal paling mengkhawatirkan adalah tidak tersedianya penjara khusus untuk teroris. Selama ini, kata Mardigu, tahanan teroris disatukan dengan tahanan lainnya. Padahal itu sangat membahayakan, karena perjuangan dan idelogi masih memungkinkan untuk disebar. “Kan lucu dalam penjara, para anggota teroris ini yang menjadi imam.”

Di Indonesia cara tepat mengakhiri pergerakan teroris adalah dengan membuat sebuah aturan pengganti UU Subversi tentang apapun yang membahayakan dan mengancam negara harus dihenatikan. Tapi sayang aturan tersebut dicabut pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid.

Menurut Mardigu, UU Subversi itu adalah yang digunakan untuk membungkam jaringan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan dianggap berhasil. Ideologi komunis dibuat menjadi musuh bersama. “Makanya dengan cepat bisa dimatikan. Makanya bukan teroris yang bahaya tapi ideologinya,” jelasnya.

“Saya kira UU Subversi atau aturan baru harus dibuat tapi diperbaiki bukan mengikuti cara pembubaran PKI yang dulu,”

Selain itu, salah satu cara yang efektif adalah memberikan para pendukung teroris dan pentolan mereka sebuah saluran ekspresi. Dicontohkannya seperti Gerakan Aceh Merdeka (GAM), bila perlu menawarkan mereka partai untuk garis tersebut. (Eko Rusdianto)

0 comments:

Posting Komentar