Rabu, Maret 17, 2010

Pesta Airmata

Tanpa jeda. Mulai pagi hingga malam hari, sejak Rabu 3 Maret hingga Jumat 5 Maret, demonstrasi mahasiswa tak pernah surut. Tak ada kata redam, mahasiswa terus berteriak dan berorasi. Hingga gas air mata memaksa mereka berlari.

Kamis sekitar pukul 17.00 Wita, seorang anak kecil meringis kesakitan di samping rumah gubuk penjual bambu. Dia memakai helm kecil. Usianya sekitar belasan tahun. Kepalanya sudah berlumur darah, tapi dia tak menangis.
Berselang satu jam, seorang lagi berperawakan besar dan berwajah keras ikut tertimpuk batu di bagian kepala. Darah mengucur hingga ke badan, pakaian dari bahan jeans biru dengan cepat berlumur darah.

Pertempuran sudah dimulai. Batu-batu melayang seperti kawanan burung. Aparat kepolisian siaga dengan tameng baja, helm pelindung, dan rompi yang tebal bertuliskan POLISI. Di depan mereka puluhan orang melempar dengan beringas, mereka warga sekitar kampus. Aparat kepolisian tak menghalangi. Mahasiswa pun di pukul mudur. “Serbu..serbu,” warga berteriak.

Mahasiswa kalah dan tersudut. Perlahan kemudian, seorang dari kerumunan warga yang melempari mahasiswa dengan batu itu, meneriakkan kata 'maju'. Aparat yang sudah siap siaga berjalan pelan. Selangkah demi langkah. Hentakan kaki dari sepatu laras berbunyi keras. Mereka pasukan anti huru hara dari Brimob. “Hu, ha...Hu, ha..,” begitu mereka terus bersuara ketika langkah mereka maju.

Mendekati kampus Universitas Islam Negeri (UIN) Makassar di Jalan Sultan Alauddin, sekumpulan warga mengambil posisi di belakang aparat, terus melempar. Puluhan kali tembakan gas air mata menghantam pekarangan kampus. Mahasiswa semakin beringas.

Di hari yang sama, di tempat terpisah di Jalan Botolempangan sekretariat Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Makassar juga diserbu masyarakat dan aparat keplisian. Kaca-kaca jendela hancur, rak buku, musallah, hingga puluhan sepeda motor rusak. Sebelumnya anggota HMI Cabang Makassar sekitar 30 orang menyerbu polsek Ujung Pandang yang berada sekitar 100 meter dari sekretariat HMI. Kaca-kaca jendela pun rusak.

Ketua HMI Cabang Makassar, Amal Sakti, menyatakan penyerangan itu dipicu karena aparat kepolisian selalu memancing dan memanas-manasi.

Sehari kemudian, pada Jumat 5 Maret di Universitas 45 Makassar Jalan Urip Sumoharjo, empat orang intel polisi di kejar. Mahasiswa membawa batu besar, ada dari pecahan batu bata ada juga dari paving blok. Kejar-kejar berlangsung singkat. Mahasiswa tak mendapatkan hasil. “Hari ini kita akan lakukan sweeping polisi, kalau ada akan kita bakar hidup-hidup,” teriak seorang pengunjuk rasa.

Di Jalan AP Pettarani kampus Universitas Negeri Makassar (UNM) bentrok mahasiswa dengan warga sudah dimulai. Lemparan batu semakin banyak. “Tontonan gratis,” kata Abdi, salah seorang pengguna jalan yang ikut menonton adegan tersebut.

Tiga hari perang jalanan itu dimulai. Mulanya berawal pada Rabu 3 Maret, dari demonstrasi mahasiswa atas penuntasan kasus Cantury untuk mendukung opsi C yang menyatakan bailout untuk dana talangan sebesar Rp6,7 triliun memang bermasalah.

Mahasiswa Universitas 45, yang dikoordinator Ashari Setiawan alias Kama Cappi membawa seekor Babi putih dengan poster Wapres Boediono menempel di badan. Demonstrasi berlangsung damai hingga sore hari. Ashari dan kawan-kawannya berunjuk rasa di depan kampus. Polisi hendak membubarkan. “Saya melarang polisi masuk kampus. Itu itu sudah benar dan saya melakukannya. Apa itu salah. Di kampus saya juga adalah sekretaris BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa),” katanya.

Namun, dari pihak kepolisian menyatakan, Ashari mengeluarkan senjata tajam berupa badik dan mengancam seorang petugas Densus 88 yang menggunakan pakaian preman. Namanya Aipda Sutriman. “Petugas itu dimaki-maki,” kata Kapolda Sulselbar Irjen Polisi Adang Rochjana.

Malam itu pula, Ashari diikuti oleh Sutriman dan beberapa temannya. Merasa terancam Ashari yang juga kader HMI Cabang Makassar memasuki Sekretariat HMI Cabang Makassar di Jalan Botolempangan. Sutriman mengikutinya, saat memasuki sekretariat itu, perselihan terjadi. Kaca jendela pintu ikut rusak dan anggota HMI lainnya mengaku mengalami pemukulan.

Malam itu juga Kapolda Sulselbar Irjen Polisi Adang Rochjana mendatangi sekretariat HMI di Botolempangan. Dia berjanji akan mengusut tuntas penyelesaian kasus ini dan menindak tegas anggota kepolisian yang terkait masalah pengurasakan dan pemukulan. Untuk itu dia meminta mahasiswa ke Markas Kepolisian Wilayah Kota Besar (Polwiltabes) agar dimintai keterangan sebagai korban penyerangan. Namun, di Polwiltabes kembali terjadi perselisihan. Malam itu tak ada kesepakatan semua berjalan buntu.

Mahasiswa kembali dan menggelar orasi pada malam hari dan menutup badan jalan di depan sekretariat HMI Cabang Makassar.

Cerita ini kita mulai dari kampus Universitas Islam Negeri (UIN) Makassar. Kamis 4 Maret sejak pukul 09.00 kawanan mahasiswa berkumpul, membakar ban di tengah jalan yang berjalur dua dan empat lajur di Jalan Sultan Alauddin. Jalan itu juga yang menghubungkan kota Makassar ke Kabupaten Gowa. Kemacetan tak terhindar. Beberapa pengguna jalan ikut mengumpat. Mahasiswa menyandera sebuah truk tronton yang membawa tiang pancang bangunan sebanyak lima buah. Truk di buat melintang dan menjadi panggung terbuka.

Sudah tengah hari, terik tak menyurutkan semangat anak-anak muda itu. Mereka membara. “Kami tak akan berhenti jika tuntutan kami belum diterima. Polisi harus meminta maaf secara terbuka. Dan yang paling bertanggung jawab adalah Kapolwiltabes, harus dicopot,” kata Wawan mahasiswa UIN Makassar yang juga anggota HMI Cabang Gowa Raya.

Dia berbicara cukup keras, telunjuknya menunjuk kuat. Jemarinya menegang ketika bercerita mengenai polisi. “Tak ada alasan polisi mengobrak abrik sekretariat HMI, ingat siapa pun itu akan marah jika rumahnya diganggu,” lanjutnya.

Mereka juga sudah merusak kantor pos polisi perempatan Jalan Aandi Pangerang Pettarani dan Sultan Alauddin. Traffic light dipecahkan. “Itu bentuk kekesalan kami,” tegasnya.

Hal serupa diungkapkan ketua HMI Cabang Gowa Raya, Alumnuz Zainuddin, aksi pengrusakan kantor pos polisi dan traffic light adalah reaksi ketidak percayaan hukum dari pihak kepolisian. Menurut dia, sebagai penegak hukum seharusnya tak perlu ada pengrusakan sekretariat HMI di Botolempangan. “Kalau mereka pengak hukum maka mereka tahu cara yang baik dalam melakukan sesuatu bukan langsung menyerang. Ini merupakan balasan,” katanya.

Sekitar pukul 17.00, ketegangan antara mahasiswa dan polisi semakin terasa. Wajah-wajah mereka terlihat mengeras. Mahasiswa mengacungkan tangan, memanggil aparat kepolisian yang bersiaga di ujung jalan sekitar 100 meter dari kerumunan mahasiswa. Tak ada reaksi.

Tiba-tiba warga berlari ke arah mahasiswa. Bentrokan tak terhindar. Anak kecil tertimpuk batu. Bapak-bapak ikut kena imbas, mahasiswa mengerang kesakitan dan keperihan karena gas air mata.

Pembantu Rektor III UIN Makassar, Salehuddin Yasin, menyayangkan peristiwa kekerasan itu. “Seharusnya dilakukan negoisiasi. Saya kira polisi memiliki tim itu,” katanya.

Salehuddin berada di tengah keramaian massa. Batu-batu beterbangan dari dua penjuru, dari mahasiswa dan warga. Dia menenangkan mahasiswanya. Tapi warga tak berhenti. Polisi tak bereaksi. Salehuddin memandang ada pembiaran yang dilakukan oleh pihak aparat. “Kalau melihat itu, ada upaya provokasi antara warga dan mahasiswa,” ungkapnya.

Tapi, Kabid Humas Polda Sulselbar, Kombes Polisi Herry Subiansuri, yang datang ke lokasi kejadian setelah perang batu usai, menampik pernyataan bila ada upaya provokasi warga dengan mahasiswa. “Saya kira masyarakat mulai gerah dengan penutupan jalan ini,” katanya.
“Makanya timbul reaksi seperti itu,” lanjutnya.

Dosen Ilmu Hukum Universitas 45, Dr.Marwan Mas, SH, MH, mengatakan kecurigaan akan munculnya aksi provokasi warga dan mahasiswa sangat beralasan. Kesimpulan dia, kalau pihak kepolisian cepat tanggap maka pelemparan dari warga bisa dihentikan, cukup dengan tembakan gas air mata. “Tapi, hal itu kan tidak terjadi. Malah polisi membiarkannya, dan tembakan gas airmata itu tertuju hanya ke mahasiswa.”

Jumat 5 Maret, sekitar 15.00 hal serupa terulang kembali di Uiversitas Negeri Makassar (UNM) jalan AP Pettarani. Warga melawan mahasiswa dan pihak keamanan kembali tak bereaksi. Beberapa kali bom molotov melayang ke udara. Kabut gas airmata berselubung di taman-taman kampus. “Mahasiswa bodoh,” teriak warga.

Tapi dari pengamatan saya, warga yang melempari mahasiswa pada saat itu bukanlah bagian dari lingkungan sekitar kampus. Saya mendekati beberapa orang yang melempar tapi semua tak ingin mengaku sebagai warga. “Hanya ikut melempar. Kapan lagi,” kata beberapa orang.

Dua buah kendaraan taktis kepolisian bersiaga di depan kampus. Ratusan personel siap menyerbu kampus. Semprotan air dari kendaraan itu mengucur deras ke arah kampus. Warga berteriak girang. Tiba-tiba suara Kapolda Sulselbar Irjen Polisi Adang Rocjana terdengar. Dia meminta menghentikan pelemparan ke arah mahasiswa, bila ada yang melanggar langsung ditangkap. Ternyata suara itu tak ampuh. Buktinya, setelah Adang memasuki halaman kampus untuk melakukan negosiasi, masih ada tembakan gas airmata mengarah ke kampus. Lemparan juga masih terjadi beruntun.

Adang berjalan cepat. Dia menemui rektor UNM Prof Satrio Arismunandar di ruangannya lantai dua gedung rektorat UNM. Adang menceritakan duduk persoalan persi kepolisian. Menurutnya, persoalan utama bermula dari Ashari atau Kama Cappi dengan seorang anggota densus 88 Aipda Sutriman. “Jadi bukan konflik antara mahasiswa dan kepolisian. Hanya personal dari anggota densus itu. Dan kami sudah amankan,” katanya.

Seharusnya, kata Adang, mahasiswa harus melihat lebih arif supaya perpecahan tidak terjadi melebar. “Kalau sudah begini, ini sudah lain dengan suasananya,” ujarnya.
“Dalam waktu dekat kami akan melakukan pengusutan secara mendalam. Mengenai Ashari, itu sudah ditetapkan sebagai DPO (daftar pencaharian orang atau buronan),” katanya.

Sekitar 15 menit Adang menyampaikan kronologisnya, benturan kembali terjadi. “Tolong itu dihentikan dan masyarakat diminta mundur,” perintahnya kepada petugas kepolisian yang mendampinginya.

Beberapa jam setelah Adang meninggalkan kawasan kampus UNM, sekitar pukul 18.00 perang batu kembali terjadi. Tak ada korban jiwa dan tak seorang pun yang diamankan aparat kepolisian. “Kalau melihat cara yang ditempuh pihak kepolisian dalam beberapa hari demonstrasi ini, ternyata manajemen pemulihan konflik mereka sangat rendah,” kata Dosen Ilmu Hukum Universitas 45 Makassar, Dr.Marwan Mas.

Ada dua simpulan, kata Marwan, dalam kasus kekerasan yang dilakukan mahasiswa saat ini. Pertama, aparat kepolisian harus kembali menjadi pengayom dan pelindung masyarakat. Analisisnya, persoalan yang terjadi merupakan sesuatu yang sederhana. Awalnya bermula dari Ashari Setiaan dan kawan-kawannya yang merupakan mahasiswa Universitas 45 dan sekaligus kader HMI dengan Aipda Sutriman anggota Densus 88 dan kawan-kawannya. “Kalau polisi tanggap, keduanya ini harus dipertemukan dan dilakukan dialog dengan serius. Tapi dilakukan di tempat netral bukan di Polwiltabes seperti rabu malam itu,” katanya.

Kedua adalah peran pemerintah khususnya pemerintah provinsi Sulsel harus optimal. Marwan melihat saat ini tak ada upya yang dilakukan pemerintah provinsi, padahal merupakan tanggung jawabnya. Dia merunut, pada 9 Desember 2009, saat demonstrasi memperingati hari anti korupsi sedunia, di kantor Gubernur malah yang menjaga adalah warga sipil. “Itu kan tidak benar. Atau jangan-jangan ada ketidak cocokan antara Kapolda dan Gubernur. Atau pemerintah provinsi sudah tidak percaya dengan pihak kepolisian sebagai penjaga keamanan,” jelasnya.

Ashari Setiawan adalah mahasiswa dengan perawakan besar. Badannya kekar dengan kulit hitam. Dia adalah mahasiswa ilmu hukum di Universitas 45 dan sekaligus tercatat sebagai mahasiswa pasca sarjana jurusan Fisipol. “Sebenarnya dia sudah S1 di tempat lain, dan di Universitas 45 dia kembali mengambil mata kuliah hukum dan pasca sarjananya,” kata Marwan.

Wajah Ashari cukup keras. Berotot dan punya nyali kuat. Sewaktu-waktu dia melakukan demonstrasi dengan organisasi yang dipimpinnya dengan menggunakan kuda. Nama organisasinya Germak (gerakan mahasiswa anti korupsi). Banyak pendapat yang menyatakan Germak adalah organisasi yang ditunggangi para politikus dan dibayar. Tapi selalu tak terbukti.

Ashari tumbuh sebagai aktivis jalanan. Dia selalu membakar ban dan memacetkan jalanan saat melakukan aksi. Dia cukup berani. “Yang benar harus disuarakan,” katanya.

Ashari belum tahu kalau dia sudah dinyatakan sebagai DPO. Namun, dia cukup cerdas, bila sehari-hari dia menggunakan mobil jeep, saat terjadi kericuhan pada rabu 3 Maret itu dia menggantinya dengan sebuah sedan berwarna silver.

Saat teman-temannya melakukan demonstrasi di depan kampus Universitas 45 pada Jumat 5 Maret, dia datang dengan gulungan baju kemeja merah maron. Dia cukup leluasa bergerak. Tak ada polisi yang menciduknya, padahal sudah dinyatakan sebagai DPO. Malah dia yang memburu beberapa intel yang dikenalinya hingga ke pinggiran sungai Tello. “Kita tak ada persoalan dengan tentara, yang jelas sekarang yang kita cari adalah polisi,” katanya.
“Saya selalu dikatakan pemicu semua ini. Padahal saya adalah korban,” tegasnya.

Sabtu, 6 Maret pertemuan di sekretariat HMI Cabang Makassar di Botolempangan cukup sederhana. Ada kursi tersusun rapi dalam sebuah aula. Pecahan kaca dari sisa pengrusakan sudah mulai dibersihkan. Tapi sebuah tulisan tangan dari spidol hitam tertempel di dinding pintu aula, “Klarifikasi HMI Cabang Makassar, bahwa kami pengurus HMI Cabang Makassar tidak pernah menandatangani kesepakatan damai dengan kepolisian sebelum tuntutan HMI terpenuhi; copot Kapolda dan Kapolwiltabes.”

Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) dan beberapa elemen pemerintah termasuk Walikota Makassar Ilham Arief Sirajuddin ikut hadir. Dalam pertemuan itu mereka sepakat akan membentuk tim pencari fakta dan mengumpulkan kembali pendanaan untuk memperbaiki keadaan sekretariat.

Walikota Makassar Ilham Arief Sirajuddin berjanji menyumbang Rp100 juta. “Semoga ini menjadi pertanda yang baik,” kata Rektor Universitas Hasanuddin, Prof Idrus Paturusy yang juga sebagai dewan penasehat di KAHMI.

Menurut Idrus, dibentuknya tim pencari fakta akan lebih memudahkan koordinasi. “Jadi hasil penemuan itu akan dilaporkan. Siapa pun yang terlibat harus dihukum secara setimpal,” katanya.

Idrus tak menanggapi serius isi pesan dalam klarifikasi yang dibuat pengurus HMI. “Jiwa anak muda masih panas,” ujarnya. “Yang pasti kalau semua berjalan baik, maka sekretariat HMI Cabang Makassar ini nantinya akan menjadi yang paling baik di Indonesia. Yusuf Kalla dan Aksa Mahmud (bos semen Bosowa) sudah siap melakukannya,” lanjutnya.

Saat ini, Polda Sulselbar telah menetapkan 4 orang tersangka dalam kasus penyerangan sekretariat HMI. Mereka adalah Aiptu Kanafi, Ajun Komisaris Elyasar, Briptu Sardi, dan Aipda Sutriman. Sementara dari pihak mahasiswa dari 17 mahasiswa yang menjadi saksi penyerangan ke sekretariat HMI belum dimintai keterangan.

HMI di Makassar lahir tahun 1949, dua tahun setelah kelahiran pertamanya di Yogyakarta tahun 1947. Organisasi tumbuh sehat dan hanya butuh beberapa tahun sudah memiliki ribuan anggota. Tahun 1986 anggota HMI cabang Makassar mencapai 30.000 orang, sekarang diperkirakan sudah mencapai ratusan ribu orang.

Pada kongres HMI di Padang Sumatera Barat terpecah menjadi dua bagian yakni HMI Dipo (yang diambil dari nama jalan Diponegoro sekretariat utama di Jakarta) dan HMI MPO (Majelis Penyelmat Organisasi).


Edisi Cetak diterbitkan majalah GATRA edisi 11 Maret hingga 17 Maret 2010.

0 comments:

Posting Komentar