Sabtu, Maret 20, 2010

Melukis dengan Tanah Air










Zaenal Beta punya sebuah mimpi. Ia ingin mengumpulkan seluruh tanah liat di Indonesia, kemudian mengabadikannya di atas kanvas dan membuat pameran lukis dari tanah airnya sendiri.

Di sebuah anak tangga bangunan tua Benteng Fort Rotterdam Makassar, Zaenal Beta memangku sebuah papan kertas. Dengan teliti dia mengamati objek di depannya, sebuah sepeda ontel. Pelan-pelan garis kecil mulai terbentuk. “Skets-skets saja. Selalu begitu kalau ada ide harus langsung dituangkan,” katanya.
Melihat perawakan Zaenal, dengan cambang dan jenggot yang menjuntai panjang, sungguh seram, tapi nyentrik. Dia menguncir dua ikatan jenggotnya seperti potongan rambut kepang jaman Siti Nurbaya. Selalu pakai kemeja panjang yang tergulung hingga siku, kancing dibiarkan terbuka hingga baju dalaman yang dikenakannya terlihat.

Hari itu, Jumat 29 Januari Zaenal menceritakan kisahnya menggeluti seni lukis, padahal pernah diremehkan orang tua, teman-teman. Bahkan setelah berkembang, pemasaran lukisan di Makassar sangat sulit. “Itu memang kendala tapi saya sudah berjanji pada diri untuk menjadi seniman. Buktinya hingga sekarang saya masih bisa makan dengan anak istri,” katanya.

Zaenal lahir pada 19 April 1960 dan saat ini memiliki seorang istri dan empat orang anak. Zaenal muda adalah pria yang cukup badung, sekolah sering keteter. Untuk sekolah menengah umum saja dia membutuhkan lima sekolah untuk menamatkan pendidikan. “Saya memang tidak suka belajar, kerjaku itu hanya menggambar sejak SMP,” katanya.

Akhir tahun 1970-an ketika masih duduk di sekolah menengah pertama (SMP) dia sudah menjadi kartunis untuk media lokal, seperti Pedoman Rakyat. Kemudian bergabung dengan Sanggar Ujung Pandang pimpinan Bahtiar Hafid pelukis Makassar. Tahun 1980 ketika di Sanggar Ujung Pandang, dia terpilih mewakili pameran lukis yang diadakan Dewan Kesenian Makassar (DKM) untuk memilih perwakilan yang akan membawa nama Sulsel ke tingkat nasional.

Namun sial bagi Zaenal, kanvas yang disiapkan untuk melukis terjatuh ke lumpur saat dia mengayuh sepedanya pulang ke rumah. “Saya frustasi. Bingung sekali. Padahal sudah bulan dua (Februari) dan pameran April. Dan pak Bachtiar bilang lukisan yang diikutkan harus yang baru bukan karya lama,” ujar Zaenal.

Di sebuah rumah panggung kecil, Zaenal dengan nafas terengah memperhatikan kanvas yang belepotan lumpur itu. Dia membersihkannya dengan telapak tangan, mengusapnya pelan-pelan. “Tapi setiap di bersihkan saya melihat ada gambar rumah, kapal, dan banyak lagi,” ujarnya. “Dari sini mulai memperhatikan tanah, dan menggunakan secara sembunyi-sembunyi.”

***

Daeng Saga sang ibu diam memperhatikan. Dia berpikir sang anak sudah mulai gila. “Ibu saya khawatir sekali. Kalau dia liatka melukis pake tanah mukanya beda,” kata Zaenal.

Zaenal Beta lahir dari keluarga yang kurang mampu. Ayahnya Daeng Beta adalah pedagang buah dan ibunya tak bekerja. Zaenal adalah anak ke enam dari 12 bersaudara. Sebelumnya saat belum menggeluti dunia gambar nama pemberian orang tuanya adalah Arifin. “Untuk lebih keren saja sebagai seniman, haha haha,” katanya.

Kolong rumah panggungnya, disulap jadi galeri lukis. Di sana sudah bertumpuk beberapa jenis tanah. “Saya bilang jangan jadi seniman. Gila mako itu nak, kita ini keluarga miskin tidak mungkin membeli cat untuk lukisan. Berhenti saja,” kata Ibunya, yang ditirukan Zaenal.

Zaenal tetap kukuh. Anak muda usia 20 tahun saat itu punya tekad baja dan nekat. Kalau tak ada biaya, dia ingin keluarganya tak terbebani dengan kecintaannya terhadap dunia lukisan. “Saya bilang nda usah biayai saya. Saya akan berusaha sendiri cari uang beli cat.”

Tiba lah bulan April pada 1980 itu, lukisan harus segera dikumpul. Dia sangat ketakutan dan khawatir cap gila akan menempel padanya. Tapi kekhawatiran itu berubah, lukisannya yang hanya satu warna dari bahan tanah liat disanjung orang-orang. Zaenal pun bersemangat.

***

April 1986, di Taman Ismail Marsuki (TIM) Jakarta ada perhelatan besar Temu Sastra Nusantara V, Zaenal dikutkan rombongan dari Sulsel sebagai penata set, kala itu usianya sudah 26 tahun. Sebagai penata set, dia membawa serta lima lukisan tanahnya tapi hanya dua yang dipamerkan.

Di Wisma Seni TIM, Zaenal beristirahat dengan beberapa teman. Tiba-tiba seorang kakek tua, duduk di kursi roda datang mencarinya. Wajah kakek itu sudah keriput dengan pengawalan yang ketat. “Itu Affandi dan saya gemetar melihatnya. Dia pelukis favoritku,” kata Zaenal.
“Mana nama Zaenal Beta,” kata Affandi.
“Saya Pak,” jawab Zaenal.
“Saya datang untuk kamu.”

Dialog terakhir itu membuat Zaenal ketakutakan. Dia berpikir ada yang salah dengan lukisan atau akan dicela lagi sebagai orang gila. Pertemuan itu berlangsung singkat. Dan sang Maestro lukis Indonesia, Affandi itu, mengambil kamar nomor delapan tepat di depan kamar Zaenal Beta.

Setelah pameran usai. Affandi mengundang Zaenal Beta untuk bertemu khusus. Di kamar Affandi, Zaenal duduk melantai. Affandi marah dan menyuruhnya duduk di kursi. “Tidak pak, di Bugis Makassar, kalau ada orang tua yang duduk di kursi kami tidak boleh sejajar. Maaf,” ujar Zaenal.

Di pertemuan itu pula, keakraban dibangun, dalam sebuah kesepakatan lisan, Affandi menjadi kakek dan Zaenal menjadi cucu. “Kau lah pelukis tanah air di Indonesia ini, yang melukis dengan tanahnya sendiri,” kata Affandi ditirukan Zaenal.

Oleh sang kakek Affandi, Zaenal tak dizinkan tinggal di Jakarta. Alasannya sederhana, tanah Makassar yang membawa dia menemukan bentuk lukisan yang sangat baik. Penuh karakter dan menjadi satu-satunya di Indonesia. “Kau harus kembali ke Makassar, berkarya lah di kampungmu sendiri. Suatu ketika kau akan besar dan Makassar tanah itu akan menghargaimu,” kata Affandi. “Sekarang apa yang kau ingin minta dari saya sebagai kakekmu,” lanjut Affandi.

Zaenal mengeluarkan sebuah kertas. Dia meminta skets wajah Affandi. Selesai. “Itu seperti piagam pengakuan kalau saya benar-benar penemu pengguna bahan tanah liat untuk melukis,” kata Zaenal.

Proses kreatif Zaenal mengolah bahan tanah liat cukup ribet. Pertama tanah tersebut disaring dengan halus, kemudian dikeringkan, setelah itu direndam untuk melihat daya rekat tanah apakah masih baik atau tidak. Jangan bayangkan, setelah tanah itu dianggap baik, maka akan diratakan di kanvas, dengan sapuan tangan. Kemudian untuk membentuk objeknya, dia menggunakan potongan dari bilah bambu. Kini tak ada cat dan tak ada lagi kuas.

Perlahan kematangan melukis Zaenal Beta dengan gaya realisnya mulai terbentuk. Dan hingga sekarang tak disangka hampir seluruh galeri lukis di Indonesia sudah pernah disambangi, mulai dari Ancol, Bandung, Yogyakarta, Solo, Kalimantan, dan beberapa lainnya. Sedangkan untuk Gallery Nasional dia sudah menyambanginya untuk berpameran sebanyak dua kali, pertama tahun 2001 dan selanjutnya tahun 2003.

Saat ini dia, tinggal di sebuah rumah kecil di samping sbuah kanal, Jalan Inspeksi Kanal Nomer 9 Kelurahan Mandala Kecamatan Mamajang, memiliki harapan besar untuk mengumpulkan seluruh tanah liat di wilayah Indonesia, kemudian disatukan lalu membuat pameran lukisan untuk tanah air Indonesia. “Saya harap semua itu akan tercapai. Di Sulsel saya sudah mendapatkan semua tanah liat dari setiap Kabupaten, kecuali Selayar.”

Untuk mewujudkan itu, dia selalu menawarkan kepada setiap pengunjung di ruangan pinjaman untuk memerkankan lukisannya di gedung DKM Benteng Rotterdam. “Kalau mau, siapa pun itu, silahkan kirim tanah ke saya, dan akan dibarter dengan lukisan tanah dari hasil kiriman itu ukuran 20 x 30 cm,” kata Zaenal.


Catatan, edisi cetak diterbitkan oleh majalah GATRA edisi 24 Februari 2010

2 komentar:

  1. Mohon ijin untuk mentautkan artikel ini ke facebook saya. Terima kasih. Adi Restuandi

    BalasHapus
  2. Hi, Andi Pananrang, terima kasih sudah mengunjungi blog ini. Jika ingin membagi, silahkan, dengan senang hati. Salam..

    BalasHapus