Minggu, Maret 22, 2009

Belibis

TIBA-TIBA kapten kapal itu berdiri di sisi jendela ruang mengemudi. “Terus aja dulu. Jangan belok,” katanya.
“Ok. Belok kanan,” lanjutnya.

Kresek suara handy talky di tangannya terus terdengar. Tuas lampu sorot di atas kepalanya di raih. Dia mengarahkan ke kapal yang sandar di pelabuhan kontainer Soekarno-Hatta. Cahayanya menapaki jengkal tubuh kapal itu. “Lewat kapal ini belok kiri,” katanya.

Namanya Putra Wiratama, komandan kapal polisi air laut (Polairut) di Makassar. Tubuhnya tegar, badanya kekar. Jika memakai seragam orang akan segan menyapanya. Namun, ketika memakai celana pendek, ternyata hanya biasa saja. Seperti plesetan lagu Serius, “polisi juga manusia”. “Loh, dermaga lampunya mati ya,” tuturnya.

“Ok, mundur,”
“Awas-awas,”

Saya berdiri memperhatikannya di ruangan kemudi. Sorotan lampu berkali-kali mengarah ke arah kantor polisi. Ada dua anak muda yang duduk di dermaga. Ketika di sorot, lampu dikedip-kedipkan, alasannya untuk minta bantuan agar tali penambat dikaitkan di tiang. Anak muda itu malah dengan enteng berlalu. “Sudah. Nggak usah,” perintah Putra.

Kapal melambat. Desakannya terasa mundur. Air dibelakang kapal, bergelombang tak keruan. Seorang ABK membuang tali. Kapal merapat, satu melompat. Dia berlari cepat. Menggapai tali memasang ke tiang pancang. Satu, dua, tiga tali itu mengait. “Pelan-pelan saja,” kata Putra, lagi.

HARI itu Jumat, 7 November, sekitar pukul 07.30 kapal Polairut bersandar kembali. Setelah lelah mengantar rombongan Kapolda ke Selayar dalam rangka kunjungan kerja. Perjalanan ditempuh dengan satu kali transit. Dari Makassar membutuhkan waktu delapan jam ke Bira Bulukumba. Dari Bira menghabiskan waktu sekira dua jam ke Selayar.

Nama kapal itu KP Belibis 640. Dalam deretan kapal, Polairut Belibis merupakan yang terbesar di Makassar. Panjangnya 32 meter, lebar 7 meter. Di atas lantai empatnya, ada dua buah senjata 12,7 standar patroli polisi. Senjata otomatis yang bisa memuntahkan ratusan peluru satu kali kokang. Sesuai dengan keinginan. Bisa pula hanya satu-satu peluru. Sedangkan di belakang kapal, ada dua buah perahu bermesin.

KP Belibis adalah pengawal di lautan. ABK-nya ada 17 orang plus satu tukang bersih dan koki. Di atas kapal, gaya militer yang selalu menunduk tak terlalu terlihat. Mereka memanggil Abang pada komandannya. Hanya sesekali saya mendengar kata “siap”, jika dapat perintah. Saya membayangkan semboyan di laut kita jaya.

HARI itu, rombongan Kapolda yang pulang dari Selayar akan salat Jumat di Bulukumba. Setelah itu meneruskan perjalanan ke Makassar. Saya tak begitu senang menikmati jalan darat. Agus Sutikno, Dirjen Polairut yang menemani Kapolda memberi saya izin ikut ke Makassar dengan KP Belibis itu.

ABK di Belibis dengan ramah menerima saya. “Beradaptasi saja ya,” kata Agus.
“Kalau makan, minta ke ABK,” tawarnya.
Sekira pukul 11.00 rombongan Kapolda menghilang, dan Belibis perlahan bergerak meninggalkan Bira, semua ABK, tiba-tiba mengganti bajunya. Ada yang memakai baju terusan biru, ada pula yang hanya menggunakan baju kaos. “Capek,” kata seorang dari mereka.
“Gini ya, kalau komandan pejabat yang diantar,” kata saya.
“Ah, namanya tugas Mas,” jawabnya.

Berselang berapa menit, ABK itu meraih stik plays station, dia bermain sepakbola. “Ya ini hiburannya,” katanya.

Di tempat lain, beberapa ABK langsung melahap makanan. Menu siang itu, nasi, ayam goreng, perkedel jagung, sayur lodeh, dan sambel. Rasanya pedas sekali. “Ayo-ayo makan,” tawarnya.

Sementara itu, di luar kapal, lautan tampak biru. Sengatan matahari semakin menunjukkan kegarangannya. Busa air laut yang mengandung garam, tampak putih bersih. Pasir di pesisir pulau, tampak bercahaya. Dilihat dari jauh, bagai cermin.

Ada juga dua ekor camar terbang mengikuti kapal. Sambil mendengar lagu Bob Marley penyanyi regae asal Jamaica, suasana menjadi semakin tenang.

Di ruang kemudi Maher, duduk dengan baju biru terusan. Tubuhnya bersandar di kursi kemudi. Cukup santai. Dia memandang laut, dengan air yang cukup tenang. Tak ada gelombang yang membentur kapal. Tenang bagai berlayar di sungai. “Ini stir otomatisnya Mas,” kata Maher.

Ruangan itu cukup luas. Mendominasi peralatan besar. Penuh dengan tombol. Ada hijau, kuning, juga merah. Ada pula sebuah layar, dengan gambar yang tak henti-hentinya bergerak. “Ini monitor radar,” jelas Maher.

Di monitor tersebut, ada dua buah garis. Satu terus bergerak, satu tetap berdiri tegak. Yang tegak adalah posisi kapal. Yang bergoyang adalah hasil tangkapan radar. Sekitar garis itu, ada gambar seperti noda warna kuning. “Ini untuk menunjukkan kapal, atau pulau,” kata Maher.

Di samping Maher ada Nyoman Sudarsana, dia berdiri. Memperhatikan arah depan. Kemudian ke ruangan lain, di belakang ruang kemudi. Di atas meja membentangkan sebuah peta. Gambar kaki pulau Sulawesi. Mengukur dengan jangka dan mistar. Membuat ukuran. “Ini untuk mengetahui dimana posisi kapal kita. Ini rute yang kita lewati,” katanya.

Di lihat dari rute yang dilalui, sebenarnya dari Bira ke Makassar hanya ada empat belokan kanan, sampai tujuan. Cukup gampang. “Iya dilihat dari peta,” terang Nyoman.

SEDANGKAN, Kepala Kamar Mesin, Daniel NH, berdiri tegak, sambil memegang stir manuver. Dia menunggu perintah dari komandannya. Tangannya tak lepas dari dua stir itu. Ketika kapten Putra mengatakan mudur, tangan Daniel perlahan bergoyang. Lehernya mendongak melihat ke depan. ABK di bawah geladak kapal, ribut. Tali tambat yang dibuang satu tersangkut. “Ambil senter,” perintah Kapten.
“Awas-awas-awas, kepala nanti terjepit,” ucap, kapten lagi.

Daniel tak meninggalkan tempatnya. Inilah tanggung jawabnya. Menyandarkan kapal dengan selamat. “OK. Selamat tinggal Mas,” katanya.

Saya meninggalkan KP Belibis. Tanah Makassar kembali menapaki kaki saya. Aroma kota terasa kembali, pengab, dan menggerahkan. “Nanti kontak-kontak ya. Ajak jalan. Soalnya saya belum tahu Makassar, maklum baru ada dua minggu dipindahkan,” kata Daniel.

0 comments:

Posting Komentar