Selasa, Desember 16, 2008

Gita Cinta dari SMU (pinjam dari filmnya Rano Karno)

Pada 1999 adalah tahun bahagia buatku. Sepasang seragam putih abu-abu telah menempel di badanku. Setelah kuinjakkan kakiku di halaman itu hatiku serasa bergetar. Perasaan yang dulu membuatku selalu kagum, tentang anak SMU kini telah menjadi statusku. Ini luar biasa.

Aku masuk di kelas satu delapan, satu tangga lagi ke kelas paling akhir rangkaian kelas. Disekolah itu, setiap kelas dibagi menjadi sembilan ruangan, mulai dari satu-satu, sampai satu-sembilan. Pun demikian halnya kelas dua dan kelas tiga. Teman-teman dalam kelasku begitu beragam. Ada yang pendiam, pemarah, dan paling murah senyum.

Nama temanku yang paling murah senyum ada dua orang, namanya Sri Yuliana dan Asti Rahayu. Sri adalah perempuan berjilbab, tingginya sekitar 155 cm tidak lebih menurut terkaanku. Diwajahnya ada tahi lalat yang menempel di pipi. Aku terus berpikir lalat apakah yang begitu mengetahui tentang letak tahinya yang dapat memberi seseorang kecantikan yang seimbang. Ketika kutanyakan sesuatu padanya dia hanya tersenyum, lesung pipinya pun, alamak. Dia tak suka marah, suaranya yang pelan, sangat hati-hati, membuat telingaku selalu rindu padanya.

Jumat, Desember 12, 2008

Tuhan Yang Mencuci Baju

MALAM Jumat, akhir November, di kamar kosan, jalan Kebayoran Lama, Gang Seha, udara begitu gerah. Dua sachet kopi ABC Mocca diseduhnya kedalam satu gelas plastik pink begambar kartun. Sekali dua kali dia menyuruputnya, seraya mengeluarkan bungkusan plastik dari tas backpack Eiger. Isinya segenggam tembakau dan kertas tembakau cap Bagong. “Ini tembakau khas Jogja loh, eko,” katanya.

Seperti mencubit, tembakau itu diangkatnya dengan jari jempol merapat dengan jari telunjuk dari dalam kantongan. Meletakkan ke kertas papir. Mulai menggulung lalu membasahi dengan ludah untuk merekatkan pangkalnya. Ia duduk bersila. Menggulungkan satu untuk saya. Rasa tembakau itu aneh, jika pernah menghisap rokok Mustang aromanya seperti itu. Aku tak begitu tertarik. Bibirnya terus bercerita dari Pram, Tolstoy, sampai Levi’s Strauss. Tak lama kemudian ia membuka baju, menggantungnya diluar kamar pada jemuran tali nilon. Aku lihat lipatan lemak di perutnya. Pada pergelangan kaki beberapa gelang dari tali prusik menggelantung, dengan sebuah tulang berbentuk taring sebagai induknya.

NAMANYA enggan dia sebutkan, namun ia biasa dipanggil Chiko

Kamis, Desember 11, 2008

Saya, Mike Turusy...


Foto Oleh: Tawakkal


Namanya Mike Turusy. Badannya tidak segarang nama. Tingginya sekira 165 sentimeter lebih. Rambutnya agak kecoklatan dan jarang. Tapi panjang seleher. Dia suka pakai pet.

Sabtu, 29 November, sekira pukul 11.00, udara begitu gerah. Di lantai dua sebuah bangunan, Jalan Jampea, Mike hanya menggunakan celana jeans selutut. Rambut betisnya tak begitu lebat. Dia selalu tertawa. Sambil menunjuk sebuah lukisan yang belum jadi, lalu menawari saya segelas kopi.

Mike seorang pelukis yang cukup dikenal di Makassar. Dia punya aliran sendiri. Meski dasarnya adalah lukisan surealis. Namun, pada kanvas, gambar yang timbul selalu membuat takjub, lukisan dengan motif relif kayu. Orang-orang bilang alirannya, Mike Turusy Style.