Jangan Ada Dusta di Antara Kita
Oleh Eko Rusdianto
PADA Senin 24 Maret lalu, di gedung Departemen Dalam Negeri di jantung Jakarta, ada pemandangan tak lazim. Puluhan geuchik dari pedalaman Aceh mengantri masuk lift, menuju lantai tiga, masuk ke sebuah ruang kecil dengan 52 meja bersusun huruf U.
Seorang geuchik berumur setengah abad memulai bacaannya. Suaranya parau, seperti menahan sesak. Tangannya bergoyang gemetaran hingga kertas yang dibacanya ikut bergetar pula. Sesekali ia memegang kacamatanya. “Kami teng mriki makili kepala desa etnik Jawa ingkang jumlahipun sekawan atus tigang ndoso kepala desa,” katanya dalam bahasa Jawa krama. Artinya, “Kami disini mewakili kepala desa etnik Jawa yang jumlahnya 430 kepala desa.”
Namanya Tukiran. Dia kepala desa Mufakat Jadi, kabupaten Bener Meriah. Ia dipercaya sebagai koordinator geuchik Jawa dari pedalaman Aceh. Di ruangan itu ada 13 geuchik Jawa, termasuk Tukiran, yang memakai blangkon gaya Surakartan. Blangkon ini rata saja, tanpa bendolan –model bendolan adalah gaya Jogjakartan. Satu geuchik memakai topi Aceh. Satu lagi memakai pakaian adat Aceh Gayo: kerawang.
Oleh Eko Rusdianto
PADA Senin 24 Maret lalu, di gedung Departemen Dalam Negeri di jantung Jakarta, ada pemandangan tak lazim. Puluhan geuchik dari pedalaman Aceh mengantri masuk lift, menuju lantai tiga, masuk ke sebuah ruang kecil dengan 52 meja bersusun huruf U.
Seorang geuchik berumur setengah abad memulai bacaannya. Suaranya parau, seperti menahan sesak. Tangannya bergoyang gemetaran hingga kertas yang dibacanya ikut bergetar pula. Sesekali ia memegang kacamatanya. “Kami teng mriki makili kepala desa etnik Jawa ingkang jumlahipun sekawan atus tigang ndoso kepala desa,” katanya dalam bahasa Jawa krama. Artinya, “Kami disini mewakili kepala desa etnik Jawa yang jumlahnya 430 kepala desa.”
Namanya Tukiran. Dia kepala desa Mufakat Jadi, kabupaten Bener Meriah. Ia dipercaya sebagai koordinator geuchik Jawa dari pedalaman Aceh. Di ruangan itu ada 13 geuchik Jawa, termasuk Tukiran, yang memakai blangkon gaya Surakartan. Blangkon ini rata saja, tanpa bendolan –model bendolan adalah gaya Jogjakartan. Satu geuchik memakai topi Aceh. Satu lagi memakai pakaian adat Aceh Gayo: kerawang.