Selasa, Mei 27, 2008

Menuntut Mekar di Jakarta

SENIN 19 Mei lalu, suasana di ruang rapat komisi II Dewan Perwakilan Rakyat di Senayan berlangsung tenang. Ruangan itu tertata rapi, lantainya dilapisi karpet hijau. Susunan meja dan kursi membentuk setengah lingkaran.

Eka Santosa, wakil ketua komisi II DPR RI, memimpin rapat dengar pendapat. Sedangkan Burhan Alpin, sekretaris jenderal Komite Percepatan Pembentukan Provinsi Aceh Leuser Antara, menjadi pemandu untuk 30 perwakilan pendukung pembentukan provinsi Aceh Leuser Antara (ALA) dan Aceh Barat Selatan (ABAS). Pertemuan ini untuk menggiring Rancangan Undang Undang menjadi Undang Undang provinsi baru, ALA dan ABAS.

Nasir Lado pengurus Komite Persiapan Pembentukan Provinsi (KP3) ABAS memulai pendapatnya. Lado adalah mantan pasukan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Aceh Tengah yang menyerah sebelum MoU Helsinki. Ia juga menjadi ketua Forum Komunikasi Anak Bangsa. Sekarang ia berdomisili di Meulaboh, Aceh Barat.



“Kami ini dihamili oleh pemerintah, juga dilahirkan oleh pemerintah, kenapa pada saat ini pemerintah meninggalkan kami?” katanya.

Menurut Lado, pemerintah pusat di Jakarta telah membuat sebuah skenario agar Aceh terbelah. Buktinya, ketika darurat militer diberlakukan di Aceh. Kebijakan itu disetujui parlemen di Senayan. Pejabat pemerintah di Jakarta juga membanggakannya. Hasilnya, di Aceh orang-orang tersiksa dan hidup dalam kondisi tertekan.

“Teman-teman kami dibunuh, istri dan anak gadis kami diperkosa, rumah kami dibakar,” kenangnya.

Ia terus bicara. Tangannya bergerak pelan mengikuti suaranya. Sesekali menunjuk. Lado mengancam, jika pemekaran tak terlaksana tahun ini, maka partai nasional siap gulung tikar. Ia curiga kekuatan Perjanjian Damai Helsinki lebih besar ketimbang Undang Undang Dasar 1945.

“Saya tak mau seperti nasib (Eurico) Gueteres di Timtim yang pro-integrasi malah ditahan dan dipenjara. Kan lebih baik bergabung dengan GAM kembali, supaya menang di legislatif, maka 2009 gaung referendum akan besar dan Indonesia kemudian tidak berkutik,” kata Lado.

Sedangkan Hasan Leman pengurus KP3 ALA mengeluhkan manajemen pemerintah dan pembangunan Banda Aceh. Kota ini dianggap tidak layak menjadi induk ALA dan ABAS. Menurutnya, masyarakat ALA dan ABAS lebih dekat dengan Sumatera Utara, sebab hasil bumi lebih banyak dipasarkan ke daerah itu.

“Makanya tidak layak lagi kami ‘beriman’ ke Banda Aceh,” tegasnya.


PERTEMUAN siang itu hampir usai. Eka Santosa menyeruput segelas kopi hitam di hadapannya. Ia mendukung pemekaran. Menurut Eka, sebagai anak republik ia harus mendengar setiap aspirasi rakyat.

“Mungkin sudah saatnya saya akan beritjihad untuk penuh kepada rakyat Aceh,” katanya.

Namun Eka juga mengungkapkan pemekaran ini belum dapat surat persetujuan presiden. Parlemen akan terus berkonsultasi dengan perwakilan fraksi-fraksi, lalu memplenokannya. Jika telah sampai ke presiden, barulah pihaknya bisa meminta atau mendesak surat keputusan itu dikeluarkan. Ia juga menghimbau pada para delegasi untuk tetap bekerja dengan cara masing-masing. Seperti diplomasi.

“Silakan bapak-bapak mengikuti mekanismenya. Bapak-bapak mungkin mempunyai aturan sendiri, cara sendiri, dan mungkin pendekatan dari partai masing-masing,” jelas Eka.

Banyak kepentingan yang bermain di isu pemekaran ini. Saya teringat diskusi dengan teman-teman media dari Aceh. Menurut mereka, isu pemekaran ini hanya untuk menarik simpati partai. Kepala-kepala desa hanya bagian dari ‘tim penggembira’. Dengan mengaitkannya dengan isu kebangsaan, potensi konflik akan semakin lebar.

“Bisa jadi ada GAM jilid dua. Apapun namanya. Gerakan Aceh Manis, mungkin!” tegas KP3 ALA Aceh Tengah, Zam Zam Mubarrok.

Sebelum pertemuan benar-benar usai Eka memberikan gelang yang melingkar di tangannya. Warnanya merah putih. Di gelang itu tertulis “Aku Cinta NKRI”.

“Hadiah ini untuk saudara Nasir Lado,” katanya.


PADA minggu sore sepekan sebelumnya, asrama haji Bekasi kedatangan tamu sekitar 500-an orang. Mereka gelombang pertama pembentukan ALA dan ABAS. Tamu-tamu ini terus berdatangan hingga mencapai 1200 orang. Kali ini tak hanya kepala desa, melainkan ada anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), tokoh masyarakat, perwakilan ulama, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan kelompok mahasiswa.

Saya bertemu juru bicara KP3 ALA Aceh Tengah, Zam Zam Mubarrok. Zam sesumbar bahwa dalam mengumpulkan massa hanya butuh waktu dua bulan, pasca kedatangan pertama bulan Maret lalu dengan Iwan Gayo bersama 430 kepala desa.

“Tapi sekarang Iwan Gayo sudah berkhianat,” kata Zam.

Zam menilai Iwan telah mementingkan isi perut sendiri. Padahal jabatan yang diembannya sekarang adalah jabatan mati. Tukang sensus. “Istilahnya salah kartu untuk Irwandi, kartu mati untuk Iwan Gayo,” katanya.

“Kenapa harus mendatangkan ribuan orang ke Jakarta?” tanya saya.

“Untuk membuktikan kekuatan ALA-ABAS ini. Semacam politik identitas. Bahwa kami juga (ALA-ABAS) tak bisa dipandang remeh,” tegas Zam.

Iwan Gayo tak bersama mereka lagi. Ia dipecat di KP3 ALA karena menerima pinangan Gubernur Aceh Irwandi Yusuf. Kini Iwan menjadi koordinator Komite Percepatan Pembangunan Perumahan Desa (KP4D) di bawah pemerintahan Irwandi.

Saya sempat menghubunginya sebelum rombongan ALA dan ABAS berada di Jakarta. Tapi Iwan menyatakan bahwa ia menerima tawaran itu karena ingin terjadi percepatan pembangunan di Aceh secara keseluruhan, dan memang hal itu yang dibutuhkan. Ia menganggap usul inisiatif DPR RI berhenti di lapangan atau jeda. Momentum inilah yang digunakannya untuk membangun daerah.

“Saya melihat tak ada pemekaran setelah pemilu 2009. Jakarta menyetopnya. Artinya gagal dan harus menunggu,” kata Iwan waktu itu.

“Iwan Gayo itu tak tahu aturan. Pemikiran politiknya dangkal,” umpat Zam.

“Iwan itu cuak (mata-mata). Penghianat. Di 12 kabupaten ALA dan ABAS dia tak boleh lagi muncul,” kata Maharaja Abdul Wahab pengurus KP3 ALA Pusat.

“Kalau muncul akan disate,” tegas Fadli yang duduk bersebelahan dengan Maharaja.


SENIN 12 Mei 2008, sebanyak 500-an orang memadati pintu utama Departemen Dalam Negeri di Jakarta. Sekitar satu jam kemudian, perwakilan pendukung ALA dan ABAS yang dimotori Rahmat Salam keluar, berjalan pelan, kurang semangat. Mereka tak berhasil menemui Menteri Dalam Negeri Mardiyanto.

“Saudara-saudaraku, kita akan melanjutkan unjuk rasa kita ke depan istana wapres (wakil presiden). Sekarang kita makan dulu,” kata Rahmat Salam yang juga ketua harian KP3 ALA Pusat.

Taman yang membelah dua sisi Jalan Medan Merdeka Utara dipenuhi massa. Orang-orang duduk berselonjor di atas rumput, membuka nasi kotak yang dibagikan. Menu makan hari itu: nasi putih, dua potong daging ayam, sayur kentang dengan kuah kari, kerupuk, air mineral, sendok plastik, dan buah pisang. Mereka makan dengan lahap, ada yang memakai sendok, ada juga menggunakan tangan.

Iring-iringan enam bus Damri bergerak pelan, memutar mengikuti sisi monumen nasional. Di depan istana wapres rombongan kembali tertumpah, memaksa masuk. Tapi, sebaris blokade polisi lebih dulu menghalanginya. Mereka hanya bisa orasi. Teriakan-teriakan. Semua tentang kekecewaan terhadap pemerintah. Sementara yang lain kembali duduk di atas rumput taman. Di taman beberapa tameng polisi dan helm terkumpul di bawah pohon. Di sisi lain, Arifin Daud kepala desa dari Bener Meriah duduk menikmati rujak. Ia ditemani M Bakat, temannya.

Arifin menanggalkan gigi palsunya, lalu dibersihkannya dengan air mineral, dikeringkannya dengan usapan sapu tangan di pangkuannya. Kemudian melanjutkan kunyahan rujak.

“Kita ini harus optimis. Beginilah perjuangan,” katanya pada saya.

Sementara itu seorang pria berdiri menyampaikan orasi, kulitnya hitam legam, memakai kaos putih, otot tangannya kekar. Tangan kirinya memegang microphone, tangan kanannya mengacung mengikuti ritme suara, sesekali menghentak, telunjuknya membengkok dengan jempol berada di tengahnya, bersuara keras. Namanya Dailami, mantan GAM dan pengurus Forum Kebangkitan Anak Bangsa. Dailami mengancam jika pemekaran ini tak terlaksana maka ia akan angkat senjata. Naik gunung.

“Saya punya anak buah, kami bisa merakit bom, merakit senjata, jadi jangan salahkan kami jika berbuat nekat,” ancamnya.

“Kami ini meminta secara damai pemekaran bukan kemerdekaan, kami cinta NKRI,” lanjutnya.

Beberapa saat kemudian, delegasi keluar dari istana wapres. Rahmat naik ke atas sound system, “Kita belum bisa bertemu dengan pak wapres, tapi beliau sudah janji akan bertemu kita pukul dua siang besok. Sekarang bapak-bapak naik ke bus, dan kembali ke asrama haji dengan teratur,” katanya.


SELASA 13 Mei, massa telah berkumpul di depan gedung DPR RI. Saya melihat Rahmat Salam berdiri berdampingan dengan Eka Santosa wakil ketua komisi II DPR RI, dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan atau PDI-P. Eka berpidato. Ia berjanji untuk memperjuangkan aspirasi pemekaran. Ia juga membenarkan bahwa tuntutan ini adalah hak setiap warga.

“Sebagai anggota PDI P saya kira itu hak mereka, kami mendukung. Ini adalah perintah dari partai langsung,” kata Eka saat berjalan meninggalkan kerumunan.

Sekitar pukul 12.00, massa kembali makan siang di depan istana wapres. Mereka menagih janji pertemuan dengan Wapres Jusuf Kalla pukul 14.00. Sementara perwakilan rombongan yang terdiri dari ketua DPRD, perwakilan ulama, dan tokoh masyarakat melancarkan lobi pertemuan. Namun wapres belum bersedia. Setelah itu massa bergerak ke taman Monumen Nasional (Monas). Ada yang menyempatkan belanja, berpose di depan tugu monumen, atau sekedar membeli kopi dan menyeruputnya di bawah pohon.

“Jalan-jalan dulu. Santai-santai,” kata Arifin saat saya temui di depan tempat parkir.

Sekitar pukul 15.00 pengeras suara dari mobil komando menggema.

“Untuk masyarakat ALA dan ABAS yang masih berada di dalam Monas diharap berkumpul. Kita akan kembali ke depan istana wapres, karena sampai detik ini perwakilan delegasi kita belum bertemu dengan wapres.” Suara itu berulang-ulang.

Hari itu ada 12 bus yang bergerak. Iring-iringan itu tiba di depan istana wapres setengah jam kemudian. Mereka berencana menutup setengah jalan di depan istana wapres. Seorang aparat memberi komando kepada rekan-rekannya untuk segera menghalau konvoi itu.

Iskandar ketua komisi D DPRD Gayo Lues berorasi. Ia mengenakan ikat kepala kain berwarna putih yang bertuliskan “Provinsi Aceh Leuser Antara”. Iskandar menyesalkan Jusuf Kalla yang tidak menepati janji bertemu dengan delegasi mereka. Padahal daerah Aceh Tengah adalah daerah yang dulu memilih pasangan SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) - JK (Jusuf Kalla) saat pemilihan umum.

“Jangan lupa Pak JK, Bapak ini terpilih karena rakyat. Karena kontribusi kami juga. Mana janji-janji bapak dulu?” katanya.

“Kalau pemekaran ini tidak terlaksana. Maka tak ada pemilu 2009 di ALA-ABAS nantinya. Ingat itu!” seru Iskandar.

Sejenak kemudian, 13 pemuda dengan pakaian adat Gayo mempertunjukan tari saman. Mereka duduk di atas matras hitam yang diletakkan di jalan. Gerakannya menghentak, seirama. Seorang pria berteriak sawer, meletakkan selembar uang 50 ribuan di depan penari itu. Selanjutnya uang terus bertambah. Saya sempat menghitung sampai 500 ribu, dan terus bertambah. Kelompok penari dikelilingi oleh rombongan, dari depan mereka ditutupi aparat kepolisian.

“Tolong ruangnya sedikit dibuka. Biar Pak JK bisa melihat tarian ini. Mungkin saja hatinya bisa luluh, dan bertemu kita meskipun hanya lima menit,” kata Alpin.

Di tempat ini saya melihat beberapa wartawan yang ikut dalam rombongan ALA – ABAS. Ada wartawan Harian Aceh, Rakyat Aceh, Global Medan, dan beberapa media lain. Kami bertukar informasi. Sebagian memakai lencana pemekaran, semacam ID card yang ditempel di baju. Jabatan di situ tertulis “publikasi”. Atau memakai ikat kepala perjuangan pemekaran.

Tiba-tiba dua motor putih besar polisi diikuti sedan mewah menerobos di depan massa. Massa terdiam menatap. Orasi berhenti sejenak. Semua mata tertuju pada adegan itu. Kendaraan lainnya melaju cepat, menutup ruas jalan hingga tak ada kendaraan yang melintas. Sebuah sedan hitam, bergerak pelan keluar pagar. Setelah itu melaju cepat. Mobil itu mengantar Jusuf Kalla keluar istana wapres.

Delegasi yang diharapkan bertemu JK pun keluar dari istana dengan lesu. Pertemuan kembali gagal. Rahmat Salam segera memegang microphone.

“Kita akan terus meminta dengan jernih. Sesuai prosedur. Kalau tidak dikasih, maka ada saatnya kita merebut,” katanya.

“Seandainya Pak JK menemui kita lima menit saja. Maka besok mungkin rombongan akan meninggalkan Jakarta. Nah, sekarang semua belum pasti, belum ada juga kepastian pemekaran ini,” kata Rahmat pada saya.

“Ini bukan gelombang terakhir kedatangan kami. Kami berharap Juni, pemekaran ALA dan ABAS harus terjadi,” kata Zam.


RABU 14 Mei, sekitar pukul 11.00 telepon genggam saya berdering.

“Kami ditahan polisi. Ada 10 orang termasuk saya,” kata Zam, lewat telepon.

Telepon terputus, pesan singkat masuk. Pesan itu berbunyi, “10 pemuda ALA di tangkap polisi krn menerobos istana negara.”

Harian Serambi Indonesia, edisi 15 Mei, menyebutkan sebelum mereka ditangkap sempat terjadi kejar-kejaran dengan aparat keamanan. Kemudian 10 pemuda itu dibawa ke kantor Kepolisian Sektor Gambir. Setelah lima jam diinterogasi, mereka dibebaskan.

Saya bertemu, Maharaja Abdul Wahab di depan pintu barat Monas. Ia menanggapi penahanan itu sebagai hal yang biasa. Emosional anak muda.

“Demo kalau sedikit nda ribut, sedikit tidak seru lah,” katanya.

Tiba-tiba seorang pria dengan jas merah menghampiri saya. Seperti berbisik, ia mendekatkan mulutnya ke telinga saya. Namanya Zulkifli Idris dari Takengon. Saya melihat kartu tanda pengenalnya. Di situ tertulis jabatannya: wakil ketua DPC PDI P. Menurutnya, pemerintah hanya punya dua pilihan. Jika tak ingin memekarkan Aceh, maka berilah kemerdekaan. Ia kemudian mencontohkan kepemimpinan Soekarno-Hatta yang selalu mendengar aspirasi rakyat.

“Nama saya jangan ditulis ya. Pake nama Pak Raja saja, dia lebih berhak. Saya hanya orang daerah,” katanya.

Kali ini delegasi berhasil masuk ke istana negara. Mereka disambut juru bicara kepresidenan Andi Mallarangeng. Rahmat berkumpul bersama massa di luar, menunggu kabar dari istana.

“Mereka (staf istana) berjanji akan menyampaikan langsung pada presiden,” kata Rahmat.

Azhar Lubis wartawan Rakyat Aceh datang terlambat. Ia menghampiri Burhan Alpin, menanyakan perkembangan di istana. Alpin tak ikut masuk bersama delegasi. “Hanya pertemuan biasa, bukan diterima oleh presiden,” kata Alpin.


MENJELANG maghrib beberapa perwakilan dari ABAS di sebuah wisma kecil di Jalan Jaksa menunggu waktu makan. Saya kaget bertemu juru bicara KP3 ABAS kabupaten Aceh Barat Daya. Ia adalah wartawan yang saya temui sore sebelumnya. Namanya Chairan Mangging, wartawan Harian Aceh, di Blangpidie.

“Saya ikut rombongan ini, tapi kapasitas saya bukan sebagai wartawan. Namun juru bicara,” katanya.

Bukankah wartawan tak seharusnya menjadi pemain?

“Ini seperti jeruk makan jeruk ya. Wartawan wawancara wartawan,” kata Chairan bergurau.

Chairan tersenyum menanggapi isi orasi yang keras, seperti ancaman angkat senjata atau memboikot pemilu presiden 2009.

“Bahasa seperti itu hanya sebuah seremonial, hanya ungkapan emosi. Hiperbola,” katanya.

Derit kipas angin di atas kepala di ruang makan wisma itu terdengar jelas. Charian duduk di depan saya. Sesekali ia mengerinyitkan alisnya saat mengucapkan satu kalimat yang dianggapnya penting. Menurutnya, pemekaran ini bukan karena SBY presiden Indonesia, tapi memang kemauan rakyat. Maka rakyat akan terus berjuang. Ia juga menilai terpilihnya Irwandi sebagai gubernur Aceh bukan atas pilihan rakyat mutlak, melainkan karena tekanan yang dilakukan di mana-mana.

“Nah, sekarang ini kenapa kami bersuara, karena ini tidak ada tekanan fisik lagi,” tegasnya.

“Irwandi menunjuk Iwan Gayo untuk percepatan pembangunan. Bukankah itu yang dibutuhkan ALA dan ABAS?” tanya saya.

“Saya melihat pembentukan KP4D (Komite Percepatan Pembangunan Perumahan dan Pemukiman Desa) hanya untuk membungkam mulut Iwan Gayo, yang selama ini dikenal vokal, sangat vokal sekali terhadap percepatan dan lahirnya provinsi ALA ABAS ini,” jawab Chairan.

Asnawi seorang warga ABAS dan pengurus Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia Blangpidie, menambahkan bahwa Iwan Gayo hanyalah warga negara yang baik. Pengarang buku pintar, hampir setiap anak Indonesia berhutang padanya.

“Dia tidak bisa menghitamputihkan hak seorang presiden dan wakil presiden. Tentang turunnya hak inisiatif DPR dan putusan presiden apa urusannya dengan sok tahu begitu, dengan rasa hormat bukan emosi ya,” katanya.

Asnawi menggerakkan kursinya, kemudian kembali berbicara. Sekali waktu ia mengingatkan saya untuk tidak memotong pembicaraannya.

“Well, kami tidak menentang sebuah keabsahan pemerintahan menurut negara ini. Di Aceh kami hanya ingin membuat percepatan untuk Aceh, dan rakyat. Oke?” katanya.

Asnawi membuat analogi sederhana. Permintaan pemekaran ini ibarat dua anak kembar, yang sudah waktunya dilahirkan.

“Sekarang siapa yang berdosa jika itu tak dilakukan. Apakah akan dilakukan aborsi? Coba pikir Dinda,” katanya.***

*) Naskah ini dipublikasikan pertama kali oleh www.pantau.or.id

3 komentar:

  1. Kamu pasti sedih ya ko, Politikus Idolamu si IWAN GAYO jadi melacur huahahahaha... Oi Iwan gayo, Eko nih ngeFans banget lho sama situ...

    BalasHapus
  2. huahahaha. itu terus...dimanako ini? sy kira dari makassarko bedelf

    BalasHapus