Selasa, April 22, 2008

Uly ( Cerita Fiksi)

Hari ini ada cerita Seorang teman, namanya Uly, dari seberang Sulawesi ia menelfonku. Berkeluh kesah kejadian yang menimpa dirinya. Kekalutan dibenaknya. Ketakutan dan kebodohan.

Suaranya sesenggukan terdengar jelas. Aku bayangkan wajahnya diredam di balik bantal. Pasti tak kuasa lagi menahan tangisnya, dalam nafas sesenggukan itu, ia terus bercerita. Kisahnya dalam beberapa tahun, tentang lelaki yang mengisi hari-harinya. Beberapa diantara mereka telah menjamah tubuhnya. Mulanya hanya minta sekali cium, katanya sebagai ungkapan kasih sayang. Lama kelamaan menjadi tak terkontrol.

Tidur bersama pun menjadi ritual rindu yang menyenangkan. Nafsu yang liar. Pokoknya ada saat dimana sirkus porno-pornoan harus digelar. Dan itu seperti sebuah keharusan.



Adakah sesal yang menghinggapi kelamin lelaki itu? Adakah sesal yang membekukan hati lelaki itu? Aku tak tahu itu. Demikian aku tahu, takkan kubocorkan juga, sebab itu merupakan rahasia, seorang pria. Aku menutup telingaku saat Uly menanyakannya.

Hampir setiap malam bayangan terawang dari balik jendela menghampirinya. Bukankah nafsu seorang perempuan lebih besar dibanding lelaki. Untuk itu sekutu Ifrid lebih senang menggoda kaum ini. Sejak lama Ifrid bersahabat dengannya. Jadwalnya tetap. Ia mendengkur disaat ia punya kesibukan. Namun disaat sendirian Ifrid terjaga. Mengingatkan saat-saat berjumpa kekasihnya. Dari balik telfon Uly terus bercerita. "Saya sudah jadi hamba nafsu itu," katanya.

Pertama melangkah masuk kamar ada hawa ketakutan. Sang kekasih dengan sigap menggapai tangannya. Perang cumbuan pun berlangsung. Jilatannya menyentuh leher, Uly tak kuasa menahan semua itu. Kemudian terkulai lemah. Perlahan tangannya meraba dada. “Aku merasakan sensasi yang tinggi,” katanya lewat telepon.

IFRID melihatku, menggoyangkan tanganku sendiri. Seperti bergerak sendiri, atau itu sudah kebiasaanku saat akan bercinta. Kuraih juga selangkangannya. Kami berdua terkulai lemas. Tanpa busana setelah beberapa waktu saling melepas kesendirian. Setelah itu, semua menjadi biasa. Aku dalam letih menyayangkan kembali kejadian. Menyesal. Buru-buru aku pulang. Senyum termanisku menjuntai dari bibir. Aku mengatakan sepatah kata sayang untuknya. Ia kelihatan puas.

Di tengah perjalanan aku merasakan bau badannya masih menempel di kulitku. Aroma khas lelaki. Sesampai di rumah aku membasuh badanku dengan air hangat. Kubiarkan diriku terendam beberapa menit. Aku rasakan air menyelinap masuk pori-poriku. Sangat pelan. Seperti merembes. Dari sela pahaku, kurasakan alat vitalku menggigil. Aku merabahnya. “Kini tak ada lagi mahkota, yang suci.” Aku telah kotor.

Usai membersihkan badan. Kurebahkan badan diatas kasur kempes. Bau apek dari bantal menyelinap masuk ke hidung. Sudah dua bulan bantal itu tidak dijemur.
Malam ini ada berita tentang penertiban pekerja seks komersial, mereka diigelandang naik ke atas truk. Diseret dan dipaksa. Setelah diwawancara, wajahnya di blur dengan efek komputer untuk membuat samar identitas dirinya. Aku melihat itu sampai merinding. Aku kasihan melihat mereka menjadi sangat keji, hingga wajah mereka pun telah diharamkan muncul di depan layar tivi.

Aku kembali berpikir. Dari atas bantal bersarung kuning, aku melihat diriku seperti mereka. Seorang pelacur. Meskipun demikian semua orang harus menghargainya. Dan mungkin saja dalam daftar pengangguran yang terus bertambah setiap tahun di negeri ini, mereka tak termasuk sebagai warga negara yang tak memiliki pekerjaan sebab mereka adalah seorang pekerja. Pekerja seks komersial. Aku bayangkan diriku seperti itu. Bedanya aku bercinta dengan beberapa lelaki atas dasar suka sama suka. Atas status kekasih. Mulanya aku bahagia dengan itu, sebab dalam beberapa bacaan kuliahku, seks pun termasuk kedalam hak asasi. Tapi tidakkah aku lebih keji dari mereka. PSK mendapat bayaran, sedangkan aku hanya mendapat janji.

MALAM bercengkrama dengan tenang. Dalam kegelisahan Uly merabah tubuhnya. Tak ada sensasi yang terasa. Bukankah setiap bagian penting dari fisik tubuhnya telah tersentuh.

Uly menerawang jauh menatap plafon. Setiap sekat plafon di lihatnya sebagai kubangan yang mengerikan. Gambar komik neraka yang sering dibaca sewaktu kecil, berseliweran di depannya. Ia melihat dirinya di tombaki besi mendidih dari vagina hingga menembus mulut. Sangat menakutkan.

Dulu, ketika masih dibangku sekolah menengah untuk mendapat sensasi yang menyenangkan cukup menyentuh putting tetenya. Sekarang semua itu tak berasa lagi. Semua bagian tubuhnya telah mati rasa. Kecuali jika seorang lelaki yang merabahnya.

Malam itu ia tak mampu memejamkan matanya. Rasa bersalah selalu menyalaminya. Warna-warna dari lampu rumah penduduk terlihat redup dari jendela kontrakannya di lantai tiga. Ia berdiri. Mengampiri jendela itu. Diseduhnya secangkir kopi sachet good day mochacino favoritnya. Ia menatap jauh. Jauh sekali hingga matanya pun tak mampu menjangkau kendali perasaannya. Piayama tipis malam itu bergelombang seperti lautan. Membentuk tubuhnya yang langsing, dengan buah dada yang montok. Angin begitu kencang. Sebungkus Marlboro Light juga menemaninya.

Hampir subuh, tak kuasa pun ia memejamkan matanya. Beberapa batang rokok telah habis, dibungkus hanya tersisa dua batang. Pedagang pun berseliweran dengan sepedanya mengantar jualan kepasar terdekat. Ia mengamati satu persatu manusia subuh yang lewat. Seisi kontrakkan belum terjaga. Uly merasa sangat tenang. Seperti mengambang di atas angin. Semakin cepat, semakin cepat, semakin tenang, matanya tetap terpejam. Ia melihat ibunya, ayahnya, adiknya, dan semua teman-temannya. Tak ada kekasihnya. Ia melihat tubuhnya, sangat cantik. Putih dan telanjang. Disampingnya ada ibu membawakan selembar kain putih untuknya. Diselimutinya dengan hangat. Tangan yang selalu dirindukan. Bukan tangan seorang lelaki.

Ia mentap ibunya, lalu memeluknya rapat-rapat. Seperti ingin masuk ke tubuh ibunya lagi.

Pada saat yang sama ayahnya merangkul dari belakang. Ia merasakan aroma lelaki yang berbeda. Aroma kehangatan kasih sayang. Kumis ayahnya menempel dipundak. Menggelikan, tapi ia menikmati. Semakin tenang, semakin nikmat perasaannya.

“Ayah, ibu, peluk aku erat-erat. Jangan lepaskan aku”, bisiknya dalam wajah yang terbenam di dada ibunya.

“Aku ingin kalian menganggapku anak kecil yang tak tahu apa-apa. Menjakan aku Bu. Cium aku.”

Ia bercerita dalam dekapan hangat itu. Sementara kain putih membalut tubuhnya. Seperti selimut yang menangkal tubuhnya dari udara dingin. “Ibu, aku haus.”

Seperti tersentak kenikmatan itu menghilang. Penghuni asrama lain telah terjaga dari tidur malam yang panjang. Seorang gadis terbujur kaku di depan rumah. Searah jendela Uly. Hanya secangkir good day mochacino, dua batang rokok Marlboro di tepian jendela, dan sebuah ponsel yang tetap aktif. Aku lihat namaku dalam kontak memanggil.

eko. Di Kebayoran Lama 02 Februari 2008.

1 komentar:

  1. saya suka yang ini lantaran menyinggung kata 'sirkus' hehehe. tulisanmu linear bro...sukses!

    BalasHapus